Selama masa Orde Baru,
etnis Tionghoa direpresi habis-habisan secara kultural dan politik. Ruang gerak
mereka dibatasi di ranah ekonomi, yang akhirnya justru makin memperkuat
stereotip Tionghoa dan kecemburuan sosial dari etnis lain.
Pasca Reformasi, angin segar berhembus bagi etnis Tionghoa dengan kebijakan-kebijakan KH Abdurrahman Wahid yang pluralis. Gus Dur mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang membebaskan etnis Tionghoa merayakan identitas dan budaya mereka, termasuk Imlek.
Namun belakangan ini, sentimen anti-Cina tampaknya mengemuka lagi. Tuduhan penistaan agama kepada Ahok, isu banjir tenaga kerja dari Cina, ujaran-ujaran kebencian pada etnis Tionghoa, menunjukkan luka lama belum sembuh.
Pecinan Semarang adalah saksi dari penindasan, sekaligus praktik pluralisme. Jejak represi tampak dari dikeprasnya arsitektur dan simbol-simbol "Cina". Di sisi lain, di pasar dan dalam pergaulan sehari-hari, terlihat pembauran yang damai antara etnis Tionghoa dengan "pribumi". Kedua sisi itu diungkapkan Tubagus P. Svarajati dalam bukunya "Pecinan Semarang dan Dar-Der-Dor Kota".
Pasca Reformasi, angin segar berhembus bagi etnis Tionghoa dengan kebijakan-kebijakan KH Abdurrahman Wahid yang pluralis. Gus Dur mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang membebaskan etnis Tionghoa merayakan identitas dan budaya mereka, termasuk Imlek.
Namun belakangan ini, sentimen anti-Cina tampaknya mengemuka lagi. Tuduhan penistaan agama kepada Ahok, isu banjir tenaga kerja dari Cina, ujaran-ujaran kebencian pada etnis Tionghoa, menunjukkan luka lama belum sembuh.
Pecinan Semarang adalah saksi dari penindasan, sekaligus praktik pluralisme. Jejak represi tampak dari dikeprasnya arsitektur dan simbol-simbol "Cina". Di sisi lain, di pasar dan dalam pergaulan sehari-hari, terlihat pembauran yang damai antara etnis Tionghoa dengan "pribumi". Kedua sisi itu diungkapkan Tubagus P. Svarajati dalam bukunya "Pecinan Semarang dan Dar-Der-Dor Kota".
Kehidupan Dagang Orang Cina di
Hindia Belanda
Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina
Nasihat Rasul ini tampaknya masih relevan hingga saat
ini, walaupun seorang temanku berseloroh kita tidak perlu lagi jauh-jauh pergi
ke Cina karena negeri ini sudah dikuasai Cina… Itu hanya joke saja, tapi
satu hal yang penting dari nasihat tersebut adalah ada hikmah tertentu yang
dimiliki bangsa Cina. Apabila seorang Muslim bisa memahami hikmah tersebut,
niscaya ia akan sukses. Begitulah kira-kira penafsiranku sebagai orang awam.
Aku menyebut Cina alih-alih Tionghoa karena selain
lebih praktis, menurutku kata “Cina” sama sekali tidak berkonotasi negatif.
Banyak bangsa di negara ini menyebut orang Cina atau Tionghoa sebagai “Chineese”
dan orang-orang Cina tidak merasa terhina atas sebutan tersebut.
Terus terang aku merasa sedih sekali melihat sentimen
anti-cina yang dibangkitkan sekelompok orang akhir-akhir ini. Selain berlawanan
dengan nasihat Rasul di atas, sentimen ini merupakan pengingkaran sejarah.
Bukankah bangsa Cina telah menjalin persahabatan dengan penduduk nusantara
berabad-abad yang lalu ? Bangsa Cina secara tidak langsung menggerakan ekonomi
kerajaan-kerajaan nusantara tanpa tindakan agresif seperti Portugis atau
Belanda. Selain itu bukankah sebagian penyebar Islam di Pulau Jawa adalah orang
Cina ? Peradaban negara ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah persahabatan
yang erat dengan Cina. Mereka yang menyuarakan sentimen anti-Cina adalah buta
sejarah.
Sentimen-sentimen anti Cina sendiri mulai muncul
ketika bangsa ini dijajah Belanda. Belanda tidak mau melihat persatuan antara
bangsa Pribumi dan Cina karena bisa menjadi ancaman terbesar bagi kedudukan
mereka. Olah karena itu Belanda mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang membatasi
gerak-gerik kedua kelompok serta menjalankan politik devide et impera,
menanam kecurigaan di antara kelompok pribumi dan Cina. Pola ini dipertahankan
oleh pemerintahan Rezim Orde Baru dan sisa-sisanya masih bertahan hingga
sekarang.
Syukurlah bangsa ini telah banyak belajar. Kini
pembauran mulai terasa di segala bidang. Seorang Cina bisa menduduki jabatan
pemerintahan. Kita merayakan hari besar Tionghoa. Artis-artis Cina menjadi
favorit anak-anak kita. Bahkah sentimen-sentimen anti Cina kerap menjadi bahan
lawakan di acara stand-up comedy. Semua ini menunjukan kalau bangsa kita
sudah mulai move-on , sudah sadar kalau sentimen SARA adalah sampah
penghambat pembangunan. Namun sayangnya, masih ada saja sekelompok orang yang
mengasah sentimen tersebut demi kepentingan politik praktis.
Mari kita mempelajari sedikit hal mengenai bangsa
Cina, yaitu mengenai kehidupan ekonomi mereka. Satu aspek yang sangat melekat
pada orang Cina adalah kemampuan dan keuletan mereka di bidang ekonomi. Tema
ini sudah menjadi kaijan yang menarik sejak jaman Belanda dulu. Salah satunya
dilakukan oleh J.L. Vlemming Jr. yang dibukukan dengan judul “Het Chineese
Zakenleven in Nederlandsch-Indie” (Volkslectuur, Weltevreden – 1925). Buku
ini mengupas kehidupan ekonomi bangsa Cina di Hindia Belanda secara ringkas dan
merupakan bahan berharga untuk memahami sejarah bangsa Cina di Indonesia.
Syukurlah buku ini sudah diterjemahkan oleh Bob Widyahartono ke dalam judul “Kongsi
dan Spekulasi : Jaringan Kerja Bisnis Cina”, diterbitkan oleh Grafitipers
tahun 1989. Lewat buku ini, karya J.L. Vlemming bisa dinikmati oleh kita yang
tidak mengerti bahasa Belanda. Berikut kuulas sedikit isi buku tersebut.
Mereka itu manusia yang mengagumkan, menjengkelkan,
penuh humor, sombong, pendusta, setia, mata duitan, lembut, sadistis, dan halus
budi. Senantiasa memikirkan kenyamanan pribadi… mereka dapat menahan derita,
bahkan melewati batas kemampuan bertahan, kebanyakan orang lain. Mereka adalah
orang Cina. -David Bonavia dalam The Chinese, 1982-
Pertemuan penduduk Nusantara dengan bangsa Cina bisa
dirunut sejak abad ke-V. Tepatnya pada tahun 411 seorang pengembara bernama Fa
Hian terdampar di Pulau Jawa. Selama lima bulan lamanya ia tinggal di sana
sebelum bisa pulang ke Cina. Menurut catatannya, ia tidak menemukan seorangpun
dari bangsanya di Pulau Jawa.
Kedatangan Fa Hian mengawali hubungan baru antara
Nusantara dengan Cina. Pada abad ke-VI raja-raja Jawa telah rutin mengirim duta
mereka ke Cina untuk menunjukan rasa hormat. Hubungan persahabatan ini terjalin
selama berabad-abad lamanya hingga Belanda menguasai nusantara. Ketika Belanda
tiba, mereka telah menemukan pemukim-pemukim Cina di pelabuhan-pelabuhan di
Jawa. Untuk mencegah terganggunya usaha ekspansi ekonomi mereka, Belanda
melakukan aksi-aksi agresif terhadap perdagangan Cina.
…Di berbagai tempat orang-orang Cina diculik, rumah
mereka dibakar, kapal mereka dirusakkan. Bahkan, kapal-kapal yang tiba dari
Cina mendapat ancaman agar “menurunkan sejumlah orang Cina atau hengkang dari
Jacatra”. Kalau ancaman itu tidak mempan, mereka akan “diturunkan dengan paksa
dari kapal mereka”.
Pada hari Jumat, 1 Oktober 1619 VOC mengangkat So Bing
Kong alias Bing Kong menjadi kepala pertama kelompok Cina di Batavia. Tugasnya
mengawasi dan mengendalikan penduduk Cina di sana. Walau demikian kebijakan ini
bukan berarti selalu efektif karena pada tahun 1740 sekelompok warga Cina
melakukan kerusuhan yang dibalas dengan aksi pembunuhan massal yang memalukan
nama VOC. Sekitar seabad yaitu tahun 1855 terbit peraturan yang menguatkan
kedudukan warga Cina secara sosial-ekonomi. Dilanjut peraturan tahun 1917 yang
menyamakan kedudukan warga Cina dengan Eropa di Hindia Belanda. Setahun kemudan
wakil warga Cina bisa duduk dalam Volksraad. Di saat yang sama orang Cina mulai
memantapkan posisi ekonominya di Hindia Belanda setelah sempat surut
sebelumnya. Pengusaha-pengusaha Cina mulai bermunculan, bermodalkan solidaritas
dan kepercayaan kelompok yang kuat di antara mereka. Beberapa bisnis yang
digeluti adalah pengolahan beras, rokok/cerutu, bata merah dan genting, batik,
mebel dan rotan, dan banyak lainnya. Sebagian menjadi pengusaha perkebunan
seperti Oei Tiong Hiam di Semarang.
Sebagian besar warga Cina generasi pertama di Hindia
Belanda berasal dari daerah Cina Selatan, terutama dari Provinsi Kuang Tung dan
Fu Khien atau Hok Kian. Kendati tidak bisa ditarik garis batas yang pasti, bisa
dikatakan bahwa yang tergolong pedagang berasal dari Amoy dan sekitarnya
(Tsiang Tsu, Tsoan Tsiu, dsb.). Mereka inilah yang disebut Hok Kian. Sedangkan
para perajinnya kebanyakn dari Hakka atau Kanton – Propinsi Kuang Tung. Mereka
bekerja sebagai tukang sepatu dan mebel rotan. Ada pula yang jadi tukang
arloji, tukang kayu, dan pandai besi. Sementara itu orang Cina yang menjadi
buruh di perkebunan Sumatera Timur kebanyakan berasal dari daerah Swatow,
dikenal sebagai orang Tio Cu. Persebaran mereka di pelbagai wilayah Hindia
Belanda kurang lebih sebagai berikut. Hok Kian paling banyak di Jawa; Hakka di
Kalimantan Barat; Tio Cu di Sumatera Timur, Riau, Bangka , dan Belitung. Mereka
memiliki bahasa daerah sendiri-sendiri.
Salah satu sifat orang Cina yang menonjol – apalagi
kalau berada di tengah lingkungannya atau keluarganya – adalah keramahan da
kebaikan hatinya. Kalau memperoleh rezeki, mereka bersedia membantu sanak
saudara yang kurang mampu atau memberi sumbangan pada berbagai yayasan sosial
dan perayaan.
Dan, sama halnya dengan beberapa orang Eropa, mereka
lebih suka memberi sumbangan sampai beberapa ratus ribu untuk amal ketimbang
separo jumlah itu untuk membayar pajak. Dengan segala kelicikan, mereka
berusaha membayar pajak sekecil-kecilnya.
Rasa setia kawan dan kekeluargaan Cina yang kuat
membuat mereka senantiasa lebih memberikan perhatian pada sanak saudara dan
kurang menghargai kepentingan umum yang lebih luas. Kesetiaan mereka pada
negara asalnya juga kua sekali. Inilah antara lain yang membuat mereka kurang
menyukai urusan dengan pejabat kalau tidak perlu betul. Kehidupan bisnis di
kalangan Cina kebanyakan berlandaskan kepercayaan. Saling mempercayai merupakan
sifat yang sangat berperan dan memperkuat bonafiditas mereka.
Keunikan bangsa Cina adalah pemakaian nama mereka yang
menunjukan asal-usul keluarga. Sejarah ini dirujuk hingga zama Kaisar Huang Ti
(2700 SM) yang memulai penetapan nama keluarga. Selanjutnya para bangsawan Cina
yang berasal dari keluarga Chau – yang berkuasan dari tahun 1122 hingga 403 SM
– memberi hadiah tanah kepada mereka yang berjasa dalam kerajaan. Nama-nama
profesi atau wilayah ini menjadi nama keluarga kebanyakan warga Cina sejak itu.
Misalnya She Ma yang berarti Marsekal. Ada pula nama-mana yang mengandung
legenda, seperti Lim yang berarti Hutan, Li yang berarti Anggur, Liu yang
berarti pohon ara. Nama-nama itu konon diambil begitu saja oleh para pelarian
yang merasa diselamatkan oleh hutan atau buah yang membuat mereka tidak mati
kelaparan.
Di Cina aslinya terdapat ratusan atau ribuan nama
keluarga namun kini sebagian besar sudah hilang. Berikut beberapa nama keluarga
yang umum beserta arti dan cara pengucapannya.
Cara
Pengucapan Cina Utara Cara Pengucapan
Amoy Arti
Lin Liem hutan
Wang Ong Raja
Ma Be kuda
Li Lie buah prem
Hoang Oei atau Ng kuning
Chen Tan marsekal
Sung Siong pinus/cemara
Wu Ngo lima
Sun Soen cucu
Lin Liem hutan
Wang Ong Raja
Ma Be kuda
Li Lie buah prem
Hoang Oei atau Ng kuning
Chen Tan marsekal
Sung Siong pinus/cemara
Wu Ngo lima
Sun Soen cucu
Menurut kebiasaan Cina kuno, orang tidak boleh
seenaknya mengganti nama keluarga, dan seorang wanita tidak boleh menikah
dengan pria yang nama keluarganya sama. Dulu, para pemegang adat menghukum
mereka yang berani melanggar ketentuan itu. Pada tahun 1920 masih saja ada pendapat
umum di kalangan Cina yang menentang pernikahan antara pria dengan wanita
dengan keluarga yang sama. Barangkali kejadian di tahun 1916 di Bandung masih
segar di ingatan kaum tua. Yaitu dibatalkannya pernikahan karena alasan
tersebut di atas, meskipun undangan sudah beredar dan upacara akan berlangsung.
Kehidupan bisnis warga Cina memiliki banyak kekhasan
seperti pada pemakaian merek dagang yang biasanya berasal dari kata-kata
bertema kearifan, kebahagiaan, kelimpahan dan berkat, tumbuh dan berkembang,
harta kekayaan, surga, harmoni, damai, ketenangan, kebajikan dan kemanusiaan,
serta untung. Contohnya kata “Kong” yang berarti luas atau lebar, biasanya
digunakan oleh orang Kanton. Merk Kong Khien misalnya berarti “Luas dan
Meninggi”.
Salah satu kesulitan dalam memahami bangsa Cina adalah
terkait bahasa dan aksara mereka. Berpuluh tahu abad lamanya bahasa dan aksara
Cina telah menjadi objek studi kaum intelektual dan birokrat Cina. Tulisan
dengan aksara yang indah itu, yang bagi bangsa Barat merupakan keunikan, tetap
memperoleh penghargaan dari masyarakat Cina sendiri.
Di Cina, baik di kota maupun di desa, orang akan
menjumpai tulisan dalam aksara indah yang berarti “berilah penghargaan pada
tulisan”. Karena itu semua cetakan yang tercecer di jalanan umum langsung
dipungut dan dibakar agar tidak terinjak-injak oleh kaki manusia yang lalu
lalang.
Sebelum dikenalnya bahasa Nasional atau Mandarin,
setiap suku-suku bangsa Cina memiliki bahasa dan dialek sendiri yang
menyulitkan komunikasi dengan bangsa luar. Bahasa inipun masih sangat sulit
dikuasai bangsa asing karena adanya berbagai jenis penekanan suara bahasa
(intonasi) yang harus dikuasai dalam bahasa percakapan. Dalam perkembangannya,
kalangan Cina peranakan Hindia Belanda sudah tidak terlalu menguasai bahasa
asli dan banyak menyerap bahasa melayu dan belanda dalam kehidupan sehari-hari.
Di saat yang sama bahasa Cina ikut merasuki khazanah bahasa pergaulan
sehari-hari masyarakat.
Selain membahas masalah sosial kalangan Cina di Hindia
Belanda, Vlemming banyak membahas hal-hal teknis terkait bisnis Cina yang
tujuannya mungkin untuk memudahkan kalangan Eropa berbisnis dengan orang Cina.
Tema yang dibahas antara lain mengenai bentuk usaha kongsi dan perseorangan
bangsa Cina, cara pembukuan, penggunaan sui poa (sempoa), sistem perkreditan,
sistem arisan, spekulasi, dana keluarga, hingga kehidupan bisnis Cina di
berbagai wilayah di Hindia Belanda.
Buku ini membenarkan nasihat Rasul bahwa banyak hal
yang bisa kita pelajari dari Cina, walaupun beberapa yang negatif tentu saja
harus dihindari. Pencapaian yang bangsa Cina saat ini peroleh adalah buah dari
proses peradaban selama puluhan abad, jauh meninggalkan kita yang baru mengenal
peradaban sekitar abad pertama masehi. Sebagai pesan terakhir dariku, mari kita
berhenti membuang energi mengubar sentimen SARA dan mulai mempelajari
sisi-sisi positif bangsa lain untuk kemajuan bersama. Bukankah kita diciptakan
bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal dan bukan untuk saling
melenyapkan ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar