Rabu, 05 April 2017

tahukah dengan sejarah

Selama masa Orde Baru, etnis Tionghoa direpresi habis-habisan secara kultural dan politik. Ruang gerak mereka dibatasi di ranah ekonomi, yang akhirnya justru makin memperkuat stereotip Tionghoa dan kecemburuan sosial dari etnis lain.

Pasca Reformasi, angin segar berhembus bagi etnis Tionghoa dengan kebijakan-kebijakan KH Abdurrahman Wahid yang pluralis. Gus Dur mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang membebaskan etnis Tionghoa merayakan identitas dan budaya mereka, termasuk Imlek.

Namun belakangan ini, sentimen anti-Cina tampaknya mengemuka lagi. Tuduhan penistaan agama kepada Ahok, isu banjir tenaga kerja dari Cina, ujaran-ujaran kebencian pada etnis Tionghoa, menunjukkan luka lama belum sembuh.

Pecinan Semarang adalah saksi dari penindasan, sekaligus praktik pluralisme. Jejak represi tampak dari dikeprasnya arsitektur dan simbol-simbol "Cina". Di sisi lain, di pasar dan dalam pergaulan sehari-hari, terlihat pembauran yang damai antara etnis Tionghoa dengan "pribumi". Kedua sisi itu diungkapkan Tubagus P. Svarajati dalam bukunya "Pecinan Semarang dan Dar-Der-Dor Kota".
Kehidupan Dagang Orang Cina di Hindia Belanda

Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina
Nasihat Rasul ini tampaknya masih relevan hingga saat ini, walaupun seorang temanku berseloroh kita tidak perlu lagi jauh-jauh pergi ke Cina karena negeri ini sudah dikuasai Cina… Itu hanya joke saja, tapi satu hal yang penting dari nasihat tersebut adalah ada hikmah tertentu yang dimiliki bangsa Cina. Apabila seorang Muslim bisa memahami hikmah tersebut, niscaya ia akan sukses. Begitulah kira-kira penafsiranku sebagai orang awam.
Aku menyebut Cina alih-alih Tionghoa karena selain lebih praktis, menurutku kata “Cina” sama sekali tidak berkonotasi negatif. Banyak bangsa di negara ini menyebut orang Cina atau Tionghoa sebagai “Chineese” dan orang-orang Cina tidak merasa terhina atas sebutan tersebut.
Terus terang aku merasa sedih sekali melihat sentimen anti-cina yang dibangkitkan sekelompok orang akhir-akhir ini. Selain berlawanan dengan nasihat Rasul di atas, sentimen ini merupakan pengingkaran sejarah. Bukankah bangsa Cina telah menjalin persahabatan dengan penduduk nusantara berabad-abad yang lalu ? Bangsa Cina secara tidak langsung menggerakan ekonomi kerajaan-kerajaan nusantara tanpa tindakan agresif seperti Portugis atau Belanda. Selain itu bukankah sebagian penyebar Islam di Pulau Jawa adalah orang Cina ? Peradaban negara ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah persahabatan yang erat dengan Cina. Mereka yang menyuarakan sentimen anti-Cina adalah buta sejarah.
Sentimen-sentimen anti Cina sendiri mulai muncul ketika bangsa ini dijajah Belanda. Belanda tidak mau melihat persatuan antara bangsa Pribumi dan Cina karena bisa menjadi ancaman terbesar bagi kedudukan mereka. Olah karena itu Belanda mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang membatasi gerak-gerik kedua kelompok serta menjalankan politik devide et impera, menanam kecurigaan di antara kelompok pribumi dan Cina. Pola ini dipertahankan oleh pemerintahan Rezim Orde Baru dan sisa-sisanya masih bertahan hingga sekarang.
Syukurlah bangsa ini telah banyak belajar. Kini pembauran mulai terasa di segala bidang. Seorang Cina bisa menduduki jabatan pemerintahan. Kita merayakan hari besar Tionghoa. Artis-artis Cina menjadi favorit anak-anak kita. Bahkah sentimen-sentimen anti Cina kerap menjadi bahan lawakan di acara stand-up comedy. Semua ini menunjukan kalau bangsa kita sudah mulai move-on , sudah sadar kalau sentimen SARA adalah sampah penghambat pembangunan. Namun sayangnya, masih ada saja sekelompok orang yang mengasah sentimen tersebut demi kepentingan politik praktis.
Mari kita mempelajari sedikit hal mengenai bangsa Cina, yaitu mengenai kehidupan ekonomi mereka. Satu aspek yang sangat melekat pada orang Cina adalah kemampuan dan keuletan mereka di bidang ekonomi. Tema ini sudah menjadi kaijan yang menarik sejak jaman Belanda dulu. Salah satunya dilakukan oleh J.L. Vlemming Jr. yang dibukukan dengan judul “Het Chineese Zakenleven in Nederlandsch-Indie” (Volkslectuur, Weltevreden – 1925). Buku ini mengupas kehidupan ekonomi bangsa Cina di Hindia Belanda secara ringkas dan merupakan bahan berharga untuk memahami sejarah bangsa Cina di Indonesia. Syukurlah buku ini sudah diterjemahkan oleh Bob Widyahartono ke dalam judul “Kongsi dan Spekulasi : Jaringan Kerja Bisnis Cina”, diterbitkan oleh Grafitipers tahun 1989. Lewat buku ini, karya J.L. Vlemming bisa dinikmati oleh kita yang tidak mengerti bahasa Belanda. Berikut kuulas sedikit isi buku tersebut.

Mereka itu manusia yang mengagumkan, menjengkelkan, penuh humor, sombong, pendusta, setia, mata duitan, lembut, sadistis, dan halus budi. Senantiasa memikirkan kenyamanan pribadi… mereka dapat menahan derita, bahkan melewati batas kemampuan bertahan, kebanyakan orang lain. Mereka adalah orang Cina. -David Bonavia dalam The Chinese, 1982-
Pertemuan penduduk Nusantara dengan bangsa Cina bisa dirunut sejak abad ke-V. Tepatnya pada tahun 411 seorang pengembara bernama Fa Hian terdampar di Pulau Jawa. Selama lima bulan lamanya ia tinggal di sana sebelum bisa pulang ke Cina. Menurut catatannya, ia tidak menemukan seorangpun dari bangsanya di Pulau Jawa.
Kedatangan Fa Hian mengawali hubungan baru antara Nusantara dengan Cina. Pada abad ke-VI raja-raja Jawa telah rutin mengirim duta mereka ke Cina untuk menunjukan rasa hormat. Hubungan persahabatan ini terjalin selama berabad-abad lamanya hingga Belanda menguasai nusantara. Ketika Belanda tiba, mereka telah menemukan pemukim-pemukim Cina di pelabuhan-pelabuhan di Jawa. Untuk mencegah terganggunya usaha ekspansi ekonomi mereka, Belanda melakukan aksi-aksi agresif terhadap perdagangan Cina.
…Di berbagai tempat orang-orang Cina diculik, rumah mereka dibakar, kapal mereka dirusakkan. Bahkan, kapal-kapal yang tiba dari Cina mendapat ancaman agar “menurunkan sejumlah orang Cina atau hengkang dari Jacatra”. Kalau ancaman itu tidak mempan, mereka akan “diturunkan dengan paksa dari kapal mereka”.
Pada hari Jumat, 1 Oktober 1619 VOC mengangkat So Bing Kong alias Bing Kong menjadi kepala pertama kelompok Cina di Batavia. Tugasnya mengawasi dan mengendalikan penduduk Cina di sana. Walau demikian kebijakan ini bukan berarti selalu efektif karena pada tahun 1740 sekelompok warga Cina melakukan kerusuhan yang dibalas dengan aksi pembunuhan massal yang memalukan nama VOC. Sekitar seabad yaitu tahun 1855 terbit peraturan yang menguatkan kedudukan warga Cina secara sosial-ekonomi. Dilanjut peraturan tahun 1917 yang menyamakan kedudukan warga Cina dengan Eropa di Hindia Belanda. Setahun kemudan wakil warga Cina bisa duduk dalam Volksraad. Di saat yang sama orang Cina mulai memantapkan posisi ekonominya di Hindia Belanda setelah sempat surut sebelumnya. Pengusaha-pengusaha Cina mulai bermunculan, bermodalkan solidaritas dan kepercayaan kelompok yang kuat di antara mereka. Beberapa bisnis yang digeluti adalah pengolahan beras, rokok/cerutu, bata merah dan genting, batik, mebel dan rotan, dan banyak lainnya. Sebagian menjadi pengusaha perkebunan seperti Oei Tiong Hiam di Semarang.
Sebagian besar warga Cina generasi pertama di Hindia Belanda berasal dari daerah Cina Selatan, terutama dari Provinsi Kuang Tung dan Fu Khien atau Hok Kian. Kendati tidak bisa ditarik garis batas yang pasti, bisa dikatakan bahwa yang tergolong pedagang berasal dari Amoy dan sekitarnya (Tsiang Tsu, Tsoan Tsiu, dsb.). Mereka inilah yang disebut Hok Kian. Sedangkan para perajinnya kebanyakn dari Hakka atau Kanton – Propinsi Kuang Tung. Mereka bekerja sebagai tukang sepatu dan mebel rotan. Ada pula yang jadi tukang arloji, tukang kayu, dan pandai besi. Sementara itu orang Cina yang menjadi buruh di perkebunan Sumatera Timur kebanyakan berasal dari daerah Swatow, dikenal sebagai orang Tio Cu. Persebaran mereka di pelbagai wilayah Hindia Belanda kurang lebih sebagai berikut. Hok Kian paling banyak di Jawa; Hakka di Kalimantan Barat; Tio Cu di Sumatera Timur, Riau, Bangka , dan Belitung. Mereka memiliki bahasa daerah sendiri-sendiri.

Salah satu sifat orang Cina yang menonjol – apalagi kalau berada di tengah lingkungannya atau keluarganya – adalah keramahan da kebaikan hatinya. Kalau memperoleh rezeki, mereka bersedia membantu sanak saudara yang kurang mampu atau memberi sumbangan pada berbagai yayasan sosial dan perayaan.
Dan, sama halnya dengan beberapa orang Eropa, mereka lebih suka memberi sumbangan sampai beberapa ratus ribu untuk amal ketimbang separo jumlah itu untuk membayar pajak. Dengan segala kelicikan, mereka berusaha membayar pajak sekecil-kecilnya.
Rasa setia kawan dan kekeluargaan Cina yang kuat membuat mereka senantiasa lebih memberikan perhatian pada sanak saudara dan kurang menghargai kepentingan umum yang lebih luas. Kesetiaan mereka pada negara asalnya juga kua sekali. Inilah antara lain yang membuat mereka kurang menyukai urusan dengan pejabat kalau tidak perlu betul. Kehidupan bisnis di kalangan Cina kebanyakan berlandaskan kepercayaan. Saling mempercayai merupakan sifat yang sangat berperan dan memperkuat bonafiditas mereka.
Keunikan bangsa Cina adalah pemakaian nama mereka yang menunjukan asal-usul keluarga. Sejarah ini dirujuk hingga zama Kaisar Huang Ti (2700 SM) yang memulai penetapan nama keluarga. Selanjutnya para bangsawan Cina yang berasal dari keluarga Chau – yang berkuasan dari tahun 1122 hingga 403 SM – memberi hadiah tanah kepada mereka yang berjasa dalam kerajaan. Nama-nama profesi atau wilayah ini menjadi nama keluarga kebanyakan warga Cina sejak itu. Misalnya She Ma yang berarti Marsekal. Ada pula nama-mana yang mengandung legenda, seperti Lim yang berarti Hutan, Li yang berarti Anggur, Liu yang berarti pohon ara. Nama-nama itu konon diambil begitu saja oleh para pelarian yang merasa diselamatkan oleh hutan atau buah yang membuat mereka tidak mati kelaparan.
Di Cina aslinya terdapat ratusan atau ribuan nama keluarga namun kini sebagian besar sudah hilang. Berikut beberapa nama keluarga yang umum beserta arti dan cara pengucapannya.
Cara Pengucapan Cina Utara       Cara Pengucapan Amoy       Arti
Lin                                                   Liem                                       hutan
Wang                                               Ong                                          Raja
Ma                                                    Be                                             kuda
Li                                                      Lie                                            buah prem
Hoang                                             Oei atau Ng                           kuning
Chen                                                Tan                                            marsekal
Sung                                                Siong                                         pinus/cemara
Wu                                                   Ngo                                            lima
Sun                                                  Soen                                          cucu
Menurut kebiasaan Cina kuno, orang tidak boleh seenaknya mengganti nama keluarga, dan seorang wanita tidak boleh menikah dengan pria yang nama keluarganya sama. Dulu, para pemegang adat menghukum mereka yang berani melanggar ketentuan itu. Pada tahun 1920 masih saja ada pendapat umum di kalangan Cina yang menentang pernikahan antara pria dengan wanita dengan keluarga yang sama. Barangkali kejadian di tahun 1916 di Bandung masih segar di ingatan kaum tua. Yaitu dibatalkannya pernikahan karena alasan tersebut di atas, meskipun undangan sudah beredar dan upacara akan berlangsung.
Kehidupan bisnis warga Cina memiliki banyak kekhasan seperti pada pemakaian merek dagang yang biasanya berasal dari kata-kata bertema kearifan, kebahagiaan, kelimpahan dan berkat, tumbuh dan berkembang, harta kekayaan, surga, harmoni, damai, ketenangan, kebajikan dan kemanusiaan, serta untung. Contohnya kata “Kong” yang berarti luas atau lebar, biasanya digunakan oleh orang Kanton. Merk Kong Khien misalnya berarti “Luas dan Meninggi”.
Salah satu kesulitan dalam memahami bangsa Cina adalah terkait bahasa dan aksara mereka. Berpuluh tahu abad lamanya bahasa dan aksara Cina telah menjadi objek studi kaum intelektual dan birokrat Cina. Tulisan dengan aksara yang indah itu, yang bagi bangsa Barat merupakan keunikan, tetap memperoleh penghargaan dari masyarakat Cina sendiri.
Di Cina, baik di kota maupun di desa, orang akan menjumpai tulisan dalam aksara indah yang berarti “berilah penghargaan pada tulisan”. Karena itu semua cetakan yang tercecer di jalanan umum langsung dipungut dan dibakar agar tidak terinjak-injak oleh kaki manusia yang lalu lalang.
Sebelum dikenalnya bahasa Nasional atau Mandarin, setiap suku-suku bangsa Cina memiliki bahasa dan dialek sendiri yang menyulitkan komunikasi dengan bangsa luar. Bahasa inipun masih sangat sulit dikuasai bangsa asing karena adanya berbagai jenis penekanan suara bahasa (intonasi) yang harus dikuasai dalam bahasa percakapan. Dalam perkembangannya, kalangan Cina peranakan Hindia Belanda sudah tidak terlalu menguasai bahasa asli dan banyak menyerap bahasa melayu dan belanda dalam kehidupan sehari-hari. Di saat yang sama bahasa Cina ikut merasuki khazanah bahasa pergaulan sehari-hari masyarakat.
Selain membahas masalah sosial kalangan Cina di Hindia Belanda, Vlemming banyak membahas hal-hal teknis terkait bisnis Cina yang tujuannya mungkin untuk memudahkan kalangan Eropa berbisnis dengan orang Cina. Tema yang dibahas antara lain mengenai bentuk usaha kongsi dan perseorangan bangsa Cina, cara pembukuan, penggunaan sui poa (sempoa), sistem perkreditan, sistem arisan, spekulasi, dana keluarga, hingga kehidupan bisnis Cina di berbagai wilayah di Hindia Belanda.
Buku ini membenarkan nasihat Rasul bahwa banyak hal yang bisa kita pelajari dari Cina, walaupun beberapa yang negatif tentu saja harus dihindari. Pencapaian yang bangsa Cina saat ini peroleh adalah buah dari proses peradaban selama puluhan abad, jauh meninggalkan kita yang baru mengenal peradaban sekitar abad pertama masehi. Sebagai pesan terakhir dariku, mari kita berhenti membuang energi  mengubar sentimen SARA dan mulai mempelajari sisi-sisi positif bangsa lain untuk kemajuan bersama. Bukankah kita diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal dan bukan untuk saling melenyapkan ?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar