Persepsi Sejarah
“Tanpa orang Belanda, Indonesia
tidak akan mungkin bisa bersatu”
Kalimat
tersebut terlontar dari seorang penulis asal Belanda yang karya-karyanya banyak
mengulas kehidupan masyarakat Indonesia tempo dulu. Aku rasa tidak perlu
menyebutkan namanya, yang pasti selain berprofesi sebagai penulis, ia juga
dikenal sebagai kolektor foto dan kartu pos jadul tentang Hindia Belanda.
Kalimat tersebut kusoroti betul, karena menggambarkan sudut pandang yang masih
menempel di benak orang-orang Belanda sampai sekarang. Bahwa penjajahannya
terhadap Indonesia adalah baik, ya memang ada sedikit pertumpahan darah di
dalamnya, tapi secara umum hal tersebut bisa dimaklumi.
Bias
perpektif orang Belanda terhadap sejarah Indonesia memang sangat bisa dipahami,
toh kita orang Indonesia juga seringkali bersikap demikian. Upaya-upaya
menjembatani perbedaan tersebut sudah banyak dilakukan, salah satunya melalui
pembuatan buku “VOC di Kepulauan Nusantara” ini.
Butuh
waktu lima tahun bagiku untuk bisa mendapatkan buku ini sejak pertama kali
mengetahui keberadaanya. Sebuah buku yang relatif baru, namun karena dicetak
terbatas menjadi sulit untuk didapatkan. VOC di Kepulauan Indonesia : berdagang
dan menjajah diterbitkan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia di Belanda,
dicetak oleh Balai Pustaka tahun 2002. Konteks penerbitannya adalah acara
perayaan 400 tahun VOC yang tengah diadakan penduduk Belanda saat itu. Perayaan
yang banyak dikecam pihak Indonesia mengingat kiprah berdarah VOC selama
menancapkan kukunya di kepulauan Nusantara.
Walaupun
sederhana, pembuatan buku ini tidak main-main. Konsultannya adalah sejarawan
terkemuka seperti Prof. Dr. A. B. Lapian, Dr. Anhar Gonggong, dan Dr. Susanto
Zuhdi. Adapun kedua tokoh terakhir turut berperan sebagai kontributor tulisan
buku ini ditambah Dr. Gerrit Knaap dari KITLV. Buku ini awalnya merupakan bagian
pertama dari seri Bunga Rampai Sejarah Hubungan Indonesia-Belanda, aku
tidak tahu apakah ada buku lanjutan dari edisi ini.
Perlu
kuakui bahwa buku ini bukan buku terbaik tentang VOC di nusantara. Selain buku
ini masih ada buku “Jan Kompeni” karya C.R. Boxer (Sinar Harapan, 1983) yang
lebih lengkap membahas perjalanan VOC, buku ini sekarang sudah termasuk langka.
Review mengenai buku ini dengan baik diulas dalam blog ajaysamaragravira.wordpress.com sehingga aku
tidak perlu lagi membahasnya. Harus diakui bahwa buku Jan Kompeni
merupakan satu dari banyak buku yang membahas sejarah VOC dari sudut pandang
orang Belanda, sehingga tidak banyak berbeda dari karya-karya mengenai VOC
lainnya seperti yang ditulis oleh Eduard du Perron, Goens, de Klerck dan
lain-lain. Sejarah VOC dijabarkan secara detil dalam buku-buku tersebut,
berbeda dengan sejarah VOC yang seringkali dimuat dalam buku-buku sejarah
Indonesia.
Aku
tidak akan banyak membahas sejarah VOC saat ini, mungkin di kesempatan lain
saja. Tapi yang menurutku sangat menarik, seperti digambarkan dalam buku tipis
ini adalah perbedaan persepsi antara orang Belanda dan Indonesia dalam
memandang VOC. Terdapat dua perbedaan tajam yang ternyata disebabkan oleh
penyajian materi sejarah dalam sistem pendidikan kedua negara yang dilakukan
selama berpuluh-puluh tahun.
Louis
Fischer dalam buku “The Story of Indonesia” pernah menyebutkan
mengenai ciri khas penjajahan Belanda di Indonesia yang membedakannya dari tipe
penjajahan di negara lain. Menurutnya sifat paternalistik penjajahan Belanda di
Indonesia adalah layaknya perlakuan seorang ayah terhadap anaknya. Mereka
percaya penjajahan atas Indonesia adalah demi kebaikan Indonesia sendiri,
tindakan-tindakan keras adalah wajar dalam hal ini apabila “sang anak nakal”.
Hal ini diperkuat pendapat Anhar Gonggong, sejarawan senior kita yang
beranggapan bahwa masih banyak sejarawan Belanda yang beranggapan bahwa
kolonialisme Belanda di Indonesia adalah dilandasi suatu “niat baik”. Tujuan
kolonialisme tersebut adalah :
1. Men-civilized-kan orang-orang
Indonesia yang masih primitif;
2. Memberi kemakmuran kepada orang-orang Indonesia yang masih terbelakang,
3. Mempersatukan orang-orang Indonesia yang selalu berkelahi antar mereka,
4. Memberi pendidikan dan kemajuan rakyat Indonesia, dan
5. Kedatangan VOC ke Indonesia semata-mata untuk berdagang saja.
2. Memberi kemakmuran kepada orang-orang Indonesia yang masih terbelakang,
3. Mempersatukan orang-orang Indonesia yang selalu berkelahi antar mereka,
4. Memberi pendidikan dan kemajuan rakyat Indonesia, dan
5. Kedatangan VOC ke Indonesia semata-mata untuk berdagang saja.
Beberapa
buku sejarah karya orang Belanda memiliki istilah lain untuk penjajahan di
Indonesia, “Daar was wat ngroots verricht” atau sesuatu yang besar telah
dicapai di sana. Kita tidak bisa membantah pernyataan tersebut seluruhnya,
sebagaimana tidak pula dapat mengiyakannya dengan tegas. Sejarah memang
berada di kawasan abu-abu. Menurut Dr Gerrit Knaap dari KITLV dalam buku ini,
pandangan kolonialisme yang didasarkan atas tujuan “idealistik” di kalangan
orang Belanda ini berkembang tahun 1945-1949, untuk menanamkan semangat pada
mereka yang dikirimkan ke Indonesia sebagai pasukan ekspedisi.
Mereka
yang lahir dan menjadi dewasa pada tahun 1942-an dan sebelumnya, apakah itu
veteran perang di Indonesia, orang-orang Indonesia atau mereka yang tinggal
selama hidupnya di Belanda, dalam banyak hal masih terpengaruh dengan gagasan
kuno ini, walaupun hampir tiap orang dengan berat hati menerima kenyataan
adanya soevereiniteitsoverdracht atau penyerahan kedaulatan.
Pemahaman
sejarah yang ekstrim tersebut tentunya akan memiliki konsekwensi tersendiri.
Anak-anak muda Belanda yang dikirimkan ke Indonesia dalam rangka “pemulihan
keadaan” tahun 1945-1949 sangat terkejut melihat sambutan rakyat Indonesia
terhadap mereka. Dengan keyakinan bahwa rakyat Indonesia akan menyambut mereka
sebagai penyelamat “tanpanya orang Indonesia tak akan maju”, justru yang mereka
hadapi adalah perlawanan sengit dari segenap rakyat yang tidak lagi ingin jatuh
dalam penderitaan penjajahan. Kesalahan prediksi ini tidak hanya berlangsung di
kalangan serdadu muda, Van Mook saat itu bahkan pernah sesumbar mengatakan :
“Sepuluh
muatan kapal berupa makanan dan tekstil dari Australia dan seluruh penduduk
Jawa akan membanjiri pelabuhan-pelabuhan untuk membongkar kapal-kapal itu.
Inilah yang akan menjadi kesudahan pemberontakan itu.”
Di
luar perbedaan sudut pandang yang tajam tersebut, masa 1945-1949 turut menghasilkan
suatu pandangan sejarah yang baru “Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun”
yang sama-sama digunakan kedua pihak untuk kepentingannya masing-masing.
Belanda menggunakan pernyataan tersebut untuk menjustifikasi pendudukan kembali
atas Indonesia, sedangkan Soekarno menegaskan pandangan tersebut untuk
membangkitkan amarah rakyat yang enggan kembali dijajah. Apabila ingin merujuk
sejarah, pandangan tersebut justru berasal dari Gubernur Jenderal Hindia
Belanda, de Jonge yang mengatakan
“Kami,
orang Belanda sudah dsini selama 300 tahun! Dan akan berlanjut 300 tahun lagi!
Mari berbicara sesudahnya”
Bagaimanapun
klaim penjajahan Belanda atas Indonesia yang berlangsung 350 tahun tidak
didasari fakta yang kuat. Bahkan Kerajaan Belanda sendiri baru berumur 200
tahun hingga saat ini. VOC sendiri merupakan kongsi dagang swasta yang tidak
mewakili negara. VOC didirikan tahun 1602 atas anjuran Johan van Oldebarvenet
agar perusahaan-perusahaan yang hendak memperdagangkan komoditas Nusantara
terhindar dari persaingan yang tidak sehat. Masalahnya adalah, walaupun VOC
merupakan sebuah institusi swasta, wewenang-wewenang yang dimilikinya layakya
sebuah negara. VOC memiliki hak khusus untuk mengadakan perjanjian dengan
negara lain tanpa persetujuan Raja/Ratu Belanda, mengedarkan uang sendiri,
menyusun angkatan bersnejata, dan mengadakan perang dengan negara/kerajaan lain
tanpa persetujuan Ratu/Raja Belanda. Dengan demikian VOC bisa disebut sebagai
“Negara dalam negara Belanda”.
VOC
yang berada di bawah kendali dewan 17 atau Heren XVII menempatkan Gubernur
Jenderal untuk memudahkan pengurusan perdagangan di Asia. Untuk meningkatkan
pendapatan, tidak jarang Gubernur Jenderal menerapkan kebijakan-kebijakan keras
seperti pembantaian penduduk Banda yang dilakukan Jan Peterzoon Coen.
Meningkatnya ekspansi VOC atas perdagangan di Asia berpengaruh terhadap posisi
ekonomi Belanda di Eropa. Dengan kata lain setiap darah penduduk Nusantara yang
ditumpahkan VOC adalah tidak lain dilakukan untuk menambah kas pemerintahan
Belanda.
Selepas
pembubaran VOC di abad-19, barulah pemerintah Belanda resmi menjadikan
Nusantara sebagai koloninya dengan nama Hindia Belanda. Sejak itu penjajahan
tidak lagi dilakukan oleh mereka yang berprofesi sebagai “pedagang” melainkan
oleh para “ambtenaar” atau para pejabat negara. Selama itu pula terjadi
kekerasan demi kekerasan untuk mempertahankan kepentingan mereka di
Nusantara. Sejarawan Anthony J.S. Reid menyatakan bahwa :
“Kalau
tali yang mengikat Belanda dengan Indonesia diputuskan, ada pengurangan secara
permanen dalam penghasilan nasional, negeri Belanda akan jatuh miskin”
Kenyataan
sejarah membuktikan bahwa tujuan-tujuan “idealistis” Belanda atas pendudukan
Indonesia adalah omong kosong. Tapi tidak bisa dipungkiri juga bahwa ada banyak
hal besar yang dilakukan Belanda atas Indonesia. Adalah hak semua pihak untuk
mempercayai versi sejarah masing-masing apabila penjembatanan sejarah dirasa
sangat sulit dilakukan. Kita toh tidak mungkin mengakui Jan Peterzoon Coen dan
Sultan Agung sebagai pahlawan sekaligus.
Sebagai
sikap pribadi, Kini aku pun memiliki jawaban atas pandangan penulis Belanda di
pembuka tulisan ini yang menyatakan “Tanpa orang Belanda, Indonesia tidak akan
mungkin bisa bersatu”. Jawabanku adalah “Betul, tapi tanpa darah orang
Indonesia, Belanda juga tidak akan pernah ada”.
Sebagai
penutup, aku mengutip pernyataan Duta Besar RI untuk Belanda yang dimuat situs www.blimbing.nl
berikut :
Keadaan sudah berubah dan hubungan
Indonesia dengan Belanda sudah semakin baik dan bangsa Belanda sudah menjadi
sahabat bangsa Indonesia, apalagi masyarakat Belanda telah membantu ketika
Indonesia sedang dalam keadaan sulit. Namun tentunya kita tidak perlu meninggalkan
prinsip kita sendiri terhadap kolonialisme. Persahabatan adalah persahabatan,
sedangkan prinsip adalah tetap prinsip. Kehadiran Belanda di bumi Indonesia
adalah suatu kenyataan sejarah, dan sejarah hubungan kedua bangsa dapat dilihat
dari dua dimensi, yaitu yang buruk dan yang baik bagi keduabelah pihak.. Yang
buruk harus dijadikan peringatan untuk tidak diulang lagi, sementara yang baik
kalau perlu dapat kita sempurnakan. Generasi baru di Indonesia dan Belanda
perlu mengerti perjalanan sejarah hubungan kedua bangsa sebagai monumen yang
memiliki dua dimensi tersebut, untuk dapat dijadikan pelajaran positif agar
tidak terulang kembali peristiwa yang pernah menyakitkan salah satu pihak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar