Beberapa waktu lagi, kalau tidak ada halangan, Indonesia
akan mencatat sejarah baru dengan dipimpinnya ibukota negara oleh seorang
keturunan Tionghoa. Hal ini membungkam orang-orang yang beranggapan Pancasila
hanyalah sekadar jargon semata. Tapi bagi mereka yang belum siap dengan
kenyataan ini, pastilah akan melawan sekuat tenaga. Demokrasi dan
Pancasila menuntut kelapangan hati dan akal sehat, tapi sebagian orang belum
memiliki hal tersebut. Alhasil masih saja ditemukan orang-orang yang masih
menonjolkan ego dan kepentingannya di atas kepentingan bersama dan
undang-undang.
Pihak-pihak penentang naiknya Ahok menjadi orang nomor
1 di Jakarta bisa terbagi atas beberapa kelompok. Para elit politik yang
dikecewakan, ormas-ormas yang kehilangan mata pencaharian, hingga penduduk yang
tidak puas. Semuanya sah-sah saja dalam nuansa demokrasi. Tidak ada pemimpin
yang sanggup memuaskan semua orang, namun dalam negara hukum semua orang harus
tunduk pada aturan. Ketidaksukaan terhadap Ahok harus disalurkan lewat jalur
yang sah menurut undang-undang. Tapi begitulah perjalanan bangsa ini. Demokrasi
adalah sebuah proses, entah berhasil atau tidak, rakyat sendiri yang
menentukan.
Seperti yang sering kuingatkan dalam banyak tulisan
bahwa bangsa ini memang sering lupa pada sejarah. Sekarang kita bisa mengatakan
“anti aseng dan asing”, tapi sejarah membuktikan bahwa kita tidak akan menjadi
bangsa apa-apa tanpa “aseng dan asing”. Peradaban negara ini dibangun oleh
orang-orang Hindu/Budhha, Islam dan Kristen. Agama-agama yang dibawa dari
negeri asing. Suka tidak suka, begitulah keadannya. Begitu juga dengan “aseng”,
kerajaan-kerajaan Nusantara telah menjalin hubungan dengan negeri Tiongkok
sejak abad ke-4, lebih dulu dari masuknya pengaruh Islam. Selama itu pula
hubungan dengan Tiongkok berjalan dengan mulus tanpa adanya konfrontasi.
Masuknya Islam di Pulau Jawa pun turut dibawa oleh keturunan Tionghoa. Namun
kini ada beberapa kelompok-kelompok tertentu yang ingin menutupi kenyataan
sejarah tersebut dengan mengatakan “aseng” atau bangsa Tionghoa sebagai musuh
negara. Memang benar ada sebagian oknum orang Tionghoa yang berlaku tidak baik,
tapi mereka tidak akan bisa melakukan aksinya tanpa dukungan orang pribumi
juga.
Sejarah mengajarkan kita betapa bahayanya sikap selalu
meng-generalisir. Perilaku sebagian orang yang tidak bertanggung jawab tidak
bisa selamanya ditimpakan kepada seluruh kelompok. Ada baiknya kita juga
melihat sisi baiknya. Lewat artikel berikut aku ingin mengingatkan peranan
orang Tionghoa dalam pembangunan kota Batavia. Sejarah menunjukan bahwa Batavia
dan Tionghoa tidak bisa dipisahkan. Keduanya bersatu dalam banyak bidang,
sehingga naiknya seorang Tionghoa menjadi Gubernur tidak akan mengejutkan bagi
seorang yang mengetahui sejarah. Berikut akan kutulis ulang sebuah artikel yang
dimuat dalam majalah Pantja Warna no. 142 tanggal 1 Juli 1958, berjudul “Peranan
Orang-orang Tionghoa dalam Pembangunan Kota Betawi”. Agar lebih mudah
dibaca dan dipahami, Artikel yang ditulis oleh Lauw Siong Nen ini akan
kusesuaikan ejaannya dengan yang berlaku saat ini. Berikut adalah teks
lengkapnya.
Kota Betawi yang kini dikenal dengan nama Jakarta
adalah salah satu kota yang terbesar di Indonesia, kota yang mengalami berbagai
proses perubahan nama dan sejarahnya, kota yang dengan gigih menantang
zamannya!
Pada tanggal 30 Me 1619 dengan cara yang kurang ajar
dan membabi-buta jan Pieterzoon Coen telah menyerbu dan membakar kota
Jayakarta, dan dengan kejam membunuh penduduk tak berdosa yang berdiam di kota
tersebut. Di atas runtuhan-runtuhan puing danbangkai inilah hendak didirikannya
kota baru Nieuw Hoor, karena dia sendiri dilahirkan di Hoorn.
Sejak tanggal 12 Maret 1619 atas perintah “de Heeren
Zeventien” (Pengurus harian VOC yang terdiri dari 17 orang dan disebut juga
Dewan XVII) kota Jayakarta dinamakan Batavia, tempat tinggal orang-orang Bataaf
(Belanda). Rencana Coen menjadikannya kota ini koloni kulit putih. Pada masa
itu terdapat banyak orang laki-laki Belanda, sedangkan kaum wanitanya sangat
sedikit, maka Coen telah menganjurkan “De Heeren Zeventien” untuk mendatangkan
perempuan-perempuan yatim ke Batavia; rencana ini ditolak “De Heeren Zeventien”
yang hanya ingin menjadikan kota Batavia ini sebagai pusat perdagangan belaka.
Orang-orang Batavia Dibujuk Bermukim di Batavia
Setelah didudukinya kota Jayakarta, Coen membutuhkan
amat banyak tenaga untuk membangun sebuah kota baru. Orang-orang kompeni pada
masa itu sangat sedikit jumlahnya, lagi pula mereka kebanyakan terdiri dari
avonturis yang tak dapat bekerja dengan baik, sedangkan penduduk pribumi tak
senang berdiam di Batavia, maka mereka kebanyakan telah melarikan diri ke
daerah-daerah pedalaman, sehingga tenaga mereka tak dapat dipergunakan.
Demikianlah Coen terpaksa menggunakan tenaga orang-orang Tionghoa yang dibujuk
atau kalau perlu denganjalan paksaan untuk berpindah ke kota Batavia (Dr. H. T.
Colebrader, “J.P. Coen deel III). Prof. Bernar H.M. Vlekke dalam
“Nusantara”-nya pun menyatakan kalau tak ada orang-orang Tionghoa kota Batavia
mungkin tak dapat dibangun.
Dalam tahun 1618 orang-orang Tionghoa yang bermukim
di Batavia hanya berjumlah 800 orang, tapi sepuluh tahun kemudian jumlah ini
meningkat menjadi 2000 orang. Untuk menjaga ketertiban dan supaya lebih mudah
lagi menguasai orang-orang Tionghoa ini, Coen mengangkat kepala di antara
mereka dengan gelar “kapitan”, yang tak digaji dan mendapat penghasilannya dari
persentasi pajak dan sebagainya.
Orang Tionghoa di Indonesia Sebelum Coen Menduduki
Jakarta
Perhubungan antara Indonesia dan Tiongkok secara
extensif telah mulai berlangsung sejak jaman prasejarah. Pada kira-kira
permulaan tarikh Masehi sewaktu Tiongkok berada di bawah pemerintahan kerajaan
Han, orang-orang Tionghoa telah mengenal kepulauan Indonesia. Lebih-lebih waktu
kerajaan Sriwijaya di palembang makin banyak orang-orang Tionghoa yang
mengunjungi Indonesia. Maksud mereka yang terutama ialah mengunjungi India
untuk mempelajari Agama Buddha, dan selalumereka singgah di Palembang terlebih
dahulu, yang pada waktu itu juga menjadi pusat pelajaran Agama Buddha di
kepulauan Indonesia. Orang-orang Tionghoa yang datang di antaranya adalah Fa
Hsien dan Ie Tsing, yang catatan-catatannya sangat penting dan berharga bagi
ahli sejarah yang ingin mengetahui keadaan Indonesia di Zaman dahulu. Lambat
laun perhubungan antara Indonesia dan Tiongkok ini makin erat, dan pada abad
ke-XVI sudah banya orangorang Tionghoa di Maluku yang berniaga dengan penduduk
Pribumi.
Pada akhir abad ke XVII orang-orang Tonghoa sudah
banyak yang bermukim dan berniaga di Banten dan Jayakarta, mereka merupakan
bagian masyarakat yang terpenting di kota-kota tersebut. Mereka berusaha
sebagai saudagar, petani, nelayan, tukang jahit, tukang kayu, tukang batu, dan
terutama sebagai levelansir arak.
Di Jayakarta mereka diberikan sebidang tanah yang
tertentu letaknya di pantai timur dari muara Kali Ciliwung, di atas tanah ini
mereka berdiam dan berumah tangga. Tetapi kemudian mereka diusir oleh bangsa
Belanda ke suatu tempat di sebelah selatan yang kini dikenal sebagai “China
Town” – “Glodok”
Penghidupan orang-orang Tionghoa ini umumnya lebih
dari lumayan, setelah J.P. Coen memusnahkan Jayakarta mereka baru menjadi
faktor terpenting dalam pembangunan kota baru yang dinamakan “Batavia” atau
“Kota Betawi”.
Mempergunakan Tenaga Orang Tionghoa
Semula Batavia hanya terdiri dari beberapa “kasteel” –
kantor Belanda yang diperbentengkan dan dikeliling sebidang tanah di sekitarnya
– seperti telah dikatakan di atas bahwa guna membangun kota yang baru ini
dibutuhkan tenaga orang-orang Tionghoa, karena orang-orang Pribumi kebanyakan
melarikan diri ke daerah pedalaman; sedangkan orang-orang Kompeni sendiri
kebanyakan terdiri dari kaum avonturir yang di negerinya sendiri sudah dianggap
sebagai “sampah masyarakat” , yang sedikitnya tidak mempunyai daya kerja.
Coen melihat orang-orang Tionghoa yang berada di
Indonesia pandai dan rajin bekerja, maka menaruh harapan besar pada orang-orang
Tionghoa untuk membangun kota baru ini. Sebelum menjabat Gubernur Jenderal pada
tahun 1618, ia sudah berusaha membujuk orang Tionghoa yang berada di Banten
supaya pindah ke Batavia, usahanya ini selalu mendapat tantangan hebat.
Mangkubumi Banten R. Ranamenggala yang tak menginginkan penduduknya yang
rajin-rajin itu meninggalkan Banten.
Orang-orang Tionghoa yang berdiam di Jepara, Tuban,
dan Cirebon telah dibujuk oleh Coen supaya berpindah ke Batavia dengan
memberikan “hak istimewa” dan peraturan lunak terhadap mereka yang mau pindah.
Hak istimewa ini di antaranya pembebasan untuk membayar pajak atau cukai dan
perlakuan yang baik terhadap mereka. Kantor VOC di Jepang juga diberi tugas
untuk membujuk orang-orang Tionghoa pindah ke Batavia. Bagi mereka yang mau pidah
dapat diangkut dengan kapal-kapal Kompeni dengan cuma-cuma atau diberikan
“mandgeld” selama mereka di perjalanan. Selain ini Coen jua memblokir
pelabuhan-pelabuhan Manila, Malaka, dan Maccao, dengan harapan supaya pusat
perdagangan pindah ke Batavia. Bahkan kapal-kapal Tionghoa yang berada di
pelabuhan-pelabuhan Banten, Jepara dan Jambi digiring ke Batavia, dan memaksa
para pemiliknya supaya membongkar barang-barang muatannya dan dijual di kota.
Menculik Orang-orang Tionghoa
Mungkin bujukan dan kekerasan lainya yang dilakukan
terhadap orang Tionghoa masih kurang memuaskan, maka Kompeno-pun pada suatu
saat telah memerintahkan untuk menculik orang-orang Tionghoa dari pelabuhan
Tiongkok, Jepang dan dimana saja yang banyak terdapat orang Tionghoa, orang-orang
culikan ini dibawanya ke Batavia, dimana mereka dipekerjakan secara paksa
dengan diberi upah yang lumayan.
Tentang penculikan orang-orang Tionghoa ini dalam
suratpesanannyta kepada Pieter de Carpentier, Coen antara lain menyatakan bahwa
supaya mengirimkan kapal-kapal ke pantai Tiongkok untuk menculik kanak-kanak
Tiongkok, harus banyak menangkap orang-orang Tionghoa. Terutama kaum wanita
supaya dibawa ke Batavia, Ambon, dan Banda; dan jangan sampai kaum wanita ini
pulang ke negerinya atau membiarkan mereka pergi ke tempat-tempat bukan dalam
kekuasaan VOC. Karena mendapat upah yang lumayan, maka lambat-laun jumlah orang
Tionghoa makin meningkat, makin banyak juga orang Tionghoa yang dengan suka
rela bermukim di Batavia.
Selain tindakan-tindakan yang keras dari Coen, ia juga
memberi kesempatan yang cukup bagi orang-orang Tionghoa yang rajin untuk
berusaha di lapangan ekonomi dengan leluasa, dalam membangun kota yang baru
itu. Mereka mendapat kedudukan agak baik dalam masyarakat, sebagai
saudagar,tukang-tukang yang ahli, pengusaha, pertanian maupun perikanan.
Dapat dikatakan bahwa orang-orang Tionghoa inila yang
mengurus “proviandering” atau persediaan bahan makanan untuk orang-orang
Kompeni di Batavia, karena mereka merupakan “schakel”, hubungan satu-satunya antara
orang Belanda dan Pribumi yang kebanyakan berada di pedalaman.
Kawasan
Pecinan Jakarta
Penghargaan Coen terhadap Orang Tionghoa
Orang-orang Tionghoa yang rajin bekerja itu merupakan
bantuan yang sangat berharga bagi orang-orang Belanda yang pada waktu itu
sangat kekurangan tenaga-tenaga kerja. Orang-orang Tionghoa ini menduduki
tempat di segala lapangan perekonomian, dari saudagar hingga tukang sapu. Maka
tidak heran kalau Coen memuji orang-orang Tionghoa setinggi langit atas
kegiatan itu, sebagai tenaga pembangun kota Batavia yang baru dibentuk itu.
“Deer is geen volk die ons beter dan Chinesen
dienen” (Tidak ada bangsa yang mengabdi kepada kita lebih baik daripada
bangsa Tionghoa), demikian Coen menulis kepada “de Heeren Zeventien” di negeri
Belanda.
“Kapitan” Tionghoa pertama, Souw Beng Kong (orang
Belanda memanggilnya Bencon) adalah sahabat baik Coen, (kuburannya terletak di
jalan Jakarta, dekat Mangga Dua, Jakarta yang hingga kini masih dalam keadaan
baik). Sahabat baik Tionghoa lainnya adalah dari Banten, atas anjuran Coen ia
pindah ke Batavia dengan meninggalkan segala harga bendanya, Coen memberi
kepadanya sejumlah uang yang cukup besar untuk ia berusaha kembali di Batavia.
Ketika dalam tahun 1623 Coen pulang ke negeri Belanda, dari Tafelbaal di Afrika
Selatan ia tak lupa mengirim salamnya kepada sahabat-sahabatnya bangsa
Tionghoa.
Demikianlah peranan orang-orang Tionghoa dalam
pembangunan kota Batavia, dan kepentingannya sebagai faktor perekonomian yang
semulanya telah diakui oleh Coen dan VOC, tapi kedudukan mereka ini lambat laun
menjadi buruk, kerap kali ditindas. Pada tahun 1717 Gubernur Jenderal
Christoffel van Swol telah melakukan tindakan yang oleh F.de Haan dalam “Oud
Batavia” dengan euphemisme disebut “onverstandige maatregelen”
(tindakan-tindakan tolol); dan akhirnya ada tahun 1740 sinofobi, ketakutan
terhadap orang-orang Tionghoa yang berlebihan dalam persaingan ekonomi ini
memuncak, hingga dilakukannya suatu massacre, penyembelihan besar-besaran
terhadap orang-orang Tionghoa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar