Kamis, 13 April 2017

Dr. Snouck adalah manusia dasa muka, seorang sarjana dan mata-mata

Adalah tepat rasanya Firman Allah yang menyatakan bahwa seorang munafik lebih berbayaha dibandingkan orang kafir. Kenyataan sejarah menunjukan bahwa kehancuran Islam di Indonesia tidak dilakukan oleh orang-orang kafir,  melainkan oleh mereka yang “menyerang dari dalam” alias para munafiqun.
Sepanjang berabad-abad perjalanan sejarah bangsa ini kiranya sudah cukup untuk membuktikan hal tersebut. Serangan bangsa-bangsa barat ke kerajaan-kerajaan Islam di nusantara terbukti tidak berhasil menghancurkan keimanan umat Islam melainkan sebaliknya, menguatkan semangat keislaman mereka. Para penjajah mengetahui hal ini dan mereka akhirnya melupakan niatan untuk menghilangkan keimanan umat Islam, mereka tidak punya kekuatan untuk itu. Pilihan akhirnya adalah menguasai umat Islam tanpa perlu mengubah keimanan mereka. Bagaimana melakukannya ? Cukup kuasai orang-orang yang keimanannya paling rendah di antara mereka dan jadikan mereka penguasa. Tindakan ini tentunya akan mendapatkan perlawanan dari kalangan konservatif, oleh karena itu perlu dilakukan tindakan lain untuk melemahkan kalangan konservatif ini. Bagaimana caranya ? hancurkan dari dalam. Devide et Impera. Belanda benar-benar mengetahui titik kelemahan umat Islam di Indonesia yang kekuatannya bagaikan istana pasir. Berikan sedikit bumbu perpecahan, dan mereka akan segera terpecah belah.
Strategi tersebut tidak lahir begitu saja melainkan lewat pengalaman berdarah-darah yang dialami Belanda dalam usahanya menguasai Nusantara. Adalah berkat jasa seorang Dr. Snouck Hurgronje,  upaya melemahkan perlawanan umat Islam bisa berhasil dilakukan dengan sangat licin. Sebagian episode praktik Snouck dapat dilihat dalam buku “Perang Gayo Alas Melawan Kolonialisasi Belanda” (Balai Pustaka, 1983). Buku karangan M.H. Gayo ini membahas secara khusus peranan Dr. Snouck dalam perang Gayo di awal abad-20. Sang penulis mengakui kalau Snouck lewat pemikiran-pemikiran liciknya memiliki andil banyak dalam menghancurkan perlawanan rakyat Gayo terhadap penjajah. Berikut adalah ringkasan kisahnya.

Perang melawan kolonialis Belanda di Tanah Gayo dan Alas 1903, adalah bagian dari perang Aceh 1873. Beberapa tahun sebelum dan selama perang Gayo dan Alas berlangsung, yang menjadi Gubernur Militer Belanda di Aceh adalah Jenderal Van Heutsz. Ia diangkat menempati posisi tersebut pada tanggal 10 Mei 1898.
Selama Van Heutsz berkuasa di Aceh, perang Aceh memasuki periode banjir darah yang yak habis-habisnya. Politik tangan besi dijalankan. Tidak ada damai dengan pejuang-pejuang terutama dengan para alim ulama Aceh. Pengejaran terus-menerus terhadap pejuang-pejuang Aceh tak henti-hentinya. Penghancuran demi penghancuran dilancarkan. Jendera Van Heutsz di mata rakyat Aceh Gayo dan Alas adalah seorang jenderal yang bengis.
Dalam melaksanakan politik tangan besinya itu, Van Heutsz mendapat seorang penasihat ulung, seorang kawan lamanya, yaitu Dr. C. Snouck Hurgronje, seorang ahli tentang Islam, Aceh, dan tentang Gayo, atau dalam bahasa Belanda Islam kenner, Atjeh kenner, dan Gajo kenner. Dr. Snouck langsung diangkatnya menjadi penasihat politiknya, segera setelah dia diangkat menjadi Gubernur Militer Aceh.
 Kedua-duanya adalah kawan lama, sejak masih duduk di bangku sekolah di Breda, Belanda. Snouck sekolah HBS sedangkan Van Heutsz dalam kursus militer. Kemudian bertemu lagi di Den Haag, Snouck sebagai guru dan Van Heutsz sekolah di sekolah tinggi militer. Selanjutnya bertemu lagi di Indonesia, Van Heutsz sebagai komandan batalyon di Meester Cornelis (Jatinegara), sedang Snouck sebagai penasihat Pemerintah Hindia Belanda.
Akhirnya kedua-duanya bertemu dalam satu lapangan di medan perang Aceh. Yang satu sebagai Gubernur Militer sedangkan satunya lagi sebagai penasihat politik, yang memasak, mengolah, mengatur siasat, dan memberi perintah untuk menghancurkan Aceh, Gayo, dan Alas. Bagi Van Heutsz, Dr. Snouck seorang yang berjasa baginya, karena dia telah mengusukannya menjadi Gubernur Militer Aceh.

Snouck sendiri lahir pada tanggal 8 Februari 1857 di Costerhout Nederland, yang berasal dari keturunan Yahudi. Setelah selesai sekolah HBS, dia melanjutkan pelajarannya di Sekolah Tinggi Leiden, mempelajari jurusan teologi, sastra Arab, dan agama Islam. Pada tahun 1880 dia mendapat promosi doktor dengan proefshrift-nya “Het Mekkaansche Feest” hingga dia dianggap sebagai ahli tentang Islam.
Sejak di perguruan tinggi, dia telah memperhatikan perang Aceh, dan telah melihat kekeliruan politik Aceh yang dilaksanakan pemerintah Belanda, hingga Aceh belum dapat dikalahkan. Karena itu dia memperdalam pengetahuan mengenai Islam dan Aceh secara lebih mendalam.
Untuk itu Snouck pergi ke Mekah untuk mempelajari Islam di sana. Selama perang Aceh berlangsung antara 1884 sampai 1885, setelah perang Aceh berlangsung selama 11 tahun, dengan segala akal busuknya Snouck menyelundup ke kota suci Mekah dengan menggunakan nama palsu “Abdul Gaffar”. Ia berhasil masuk dan bermukim di sana dengan segala tipu dayanya.
Selama Snouck alias Abdul Gaffar tinggal di Makkah, ia berkesempatan untuk bertemu jemaah haji Indonesia yang naik haji di musim haji ke Mekah. Dia berhasil mendapat keterangan-keterangan penting, mengenai situasi perang Aceh dari jemaah haji Aceh sendiri. Tidak ada yang curiga kepadanya karena penampilan begitu meyakinkan.
Selain itu Snouck telah bertemu pula di kota Mekah dengan seorang pengkhianat Aceh yaitu “Habib Abdurrahman”, Habib Abdurrahman adalah seorang keturunan Arab yang mendapat kepercayaan dari Sultan Aceh ketika dia masih berada di Aceh. Karena ketika perang Aceh, Sultan Muhammad Daud masih muda, maka kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan sementara dipercayakan kepada kepadanya sebagai Mangkubumi, bersama Panglima Polim dan Malikul Adil. Tetapi ternyata kemudian bahwa Habib Abdurrahman telah menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Dia berkhianat kepada Aceh.
Pada tanggal 25 Agustus 1878, dia menulis surat kepada komando Militer Belanda di Lambaro tentang keinginannya untuk menyerah kepada Belanda. Van Lamberge dan Van der Heijden menyetujui penyerahan Habib ini. Habib selanjutnya meminta syarat supaya dia dengan 400 orang famili dan pengikutnya diberangkatkan ke Mekah dengan kapal perang Belanda . Belanda kemudian menyetujui dan memberangkatkan dirinya beserta 20 pengikutnya ke Mekah. Sebelum berangkat dia sempat mengirim surat kepada pemimpin Aceh untuk menyerah kepada Belanda. Tetapi ajakan itu tidak mendapat sambutan melainkan Habib Abdurrahman dicap sebagai “pengkhianat”. Di Mekkah Habib Abdurrahman banyak memberikan informasi berharga seputar Aceh kepada Snouck.
Setelah setahun Snouck berada di Mekah, kedoknya terbuka, berhubung dengan berita-berita pers di dunia barat, bahwa Abdul Gaffar bukanlah untuk belajar Agama Islam di Mekah, melainkan seorang Spion. Karena itu dengan tergesa-gesa Abdul Gaffar keluar dan meninggalkan kota suci Mekah. Sejak itu Snouck pindah ke Aceh.
Pada tahun 1891 Snouck diangkat menjadi Penasihat Bahasa Timur dan Hukum Islam dari Pemerintah Hindia Belanda. Kesempatan itu digunakannya untuk mempelajari Aceh dari segala sisinya. Ia berhasil membuat laporan penting berjudul “Laporan sekitar situasi agama dan politik di Aceh”. Setelah itu Snouck juga membuat laporan tentang Tanah Gayo yang berjudul “Tanah Gayo dan penduduknya”.
Untuk mendapatkan keterangan-keterangan mengenai Gayo tersebut, Snouck banyak mendapatkan informasi dari ekspedisi pasukan Belanda. Ekspedisi pertama dilakukan Van Daalen yang ketika itu masih berpangkat Mayor. Sedangkan ekspedisi kedua dilancarkan Kapten JHL. Scheniders tahun 1902. Ekspedisi ketiga dipimpin Kapten Van der Maaten. Keempat oleh Letnan Scheepens. Dan terakhir oleh Kapten Colijn. Akhirnya pada tahun 1903 Snouck berhasil menerbitkan buku mengenai tanah Gayo tersebut.
Hasil-hasil penelitian Snouck digunakan Gubernur Militer Aceh, Van Heutzs untuk melakukan penyerangan terhadap Aceh dan Gayo yang dilakukan korps Marsose di bawah pimpinan Van Daalen tahun 1904. Sebelum itu Snouck telah sering mengkritik kebijakan militer Belanda di Aceh yang dianggapnya tidak efektif. Dia menganggap strategi mengurung diri dalam garis konsentrasi sebagai suatu kesalahan besar.
Tindakan ini sama asrtinya dengan membuat serdadu-serdadu seperti monyet yang diikat kakinya dalam kurungan, yang kalau dipukul tidak bisa melakukan pengejaran terhadap pemukulnya.
Politik berdamai dan mencari hubungan dengan Sultan juga dianggap tidak berguna karena di Aceh alim ulamalah yang memegang kendali semangat perjuangan rakyat Aceh. Karena itu tidak ada damai dengan kaum aliran ulama. Kepada mereka hanya pelor yang harus bicara.

Politik tangan besi yang diajukan Snouck baru mendapat tanggapan ketika Van Heutzs menjabat Gubernur Militer. Keduanya memiliki pendirian yang bersamaan menghadapi perang Aceh. Di sisi lain, Snouck juga melakukan politik adu domba antara raja dengan alim ulama, serta memutarbalikkan ajaran agama Islam berkat keahliannya dalam Islam. Snouck kerap keluar masuk daerah Gayo dengan menggunakan nama samaran “Haji Putih” atau “Habib Putih”.
Berkat keahliannya berbahasa Arab dan mengaji Qur’an, dia mendapat sambutan rakyat dan alim ulama di Tanah Gayo. Kesempatan ini digunakannya untuk mengorek rahasia kekuatan semangat perjuangan rakyat Gayo, sambil mengadu domba antara raja-raja dengan para alim ulama, antara ulama dengan ulama, memutarbalikkan ajaran-ajaran agama, memperbesar perbedaan mazhab dan sebagainya. Membesar-besarkan kekuatan Belanda agar moril masyarakat jatuh…
Tetapi suatu ketika kedoknya terbuka ketika sedang mengadakan pengajian di langgar-langgar. Para pejuang Gayo yang hendak menangkapnya gagal karena ia keburu melarikan diri keluar tanah Gayo.
Demikianlah peranan Dr. Snouck yang dikenal sebagai ahli tentang Islam, ahli Aceh dan ahli Gayo itu telah mempergunakan keahliannya untuk menghancurkan Islam, Aceh, Gayo, dan Alas. Ia mendorong Van Heutzs untuk menggunakan strategi tangan besi. Pejuang-pejuang Aceh harus dikejar terus menerus, dan dihancurkan tanpa belas kasih. Ketika van Daalen menyerang tanah Gayo dan Alas tahun 1904, ia meninggalkan pembantaian yang luar biasa.

Pada hakikatnya tiga tokoh perang Dr. Snouck, Van Heutzs, dan Van Daalen adalah tiga sekawan yang telah membawa kemenangan bagi Belanda dalam perang Gayo-Alas. Dr. Snouck sebagai otaknya, Van Heutzs sebagai komando perang dan Van Daalen sebagai algojo pelaksana penyerbuan dan pembantaian.
Peranan Dr. Snouck telah muncul dalam dasa muka yang beraneka ragam, dalam perang Aceh, Gayo, dan Alas, Dr. Snouck bukan saja sebagai seorang sarjana yang telah bekerja untuk kepentingan ilmu pengetahuan, tetapi juga telah muncul sebagai penyelidik, pelapor, pengadu domba, sebagai spion, sebagai mata-mata. Sarjana Dr. Snouck telah mempergunakan ilmu pengetahuan Islamnya untuk menghancurkan rakyat Gayo-Alas dan lawan-lawannya untuk menjajah, dan menguasai tanah dan rakyatnya.

Dari sedikit kisah di atas pada dasarnya kita bisa mahfum bahwa bukan kekerasan lah yang bisa menghancurkan umat Islam melainkan tipu daya. Tiga setengah abad penguasaan Belanda atas Nusantara tidak berhasil “mengkristenkan” umat Islam tapi mereka berhasil menguasai Umat Islam sehingga tidak mampu melakukan perlawanan. Bagaimana caranya adalah seperti yang dilakukan Snouck di Aceh : Mengadu domba antara penguasa dengan alim ulama, antara ulama dengan ulama, memutarbalikkan ajaran-ajaran agama, memperbesar perbedaan mazhab dan sebagainya.
Apakah kini umat Islam di Indonesia masih lemah ? Itu mungkin karena musuh masih menggunakan strategi Snouck di atas. Mereka berusaha menjauhkan umat Islam dari pemimpinnya, membesar-besarkan perbedaan dan membajak ajaran agama Islam. Apa yang bisa kita pelajari dari kasus Snouck ini adalah bahwasannya tokoh pengadu domba itu tampil dalam balutan “sorban dan kesalehan”. Itulah sebabnya Quran memperingati bahayanya kaum Munafiqun karena kerusakan yang dihasilkan sangat luar biasa. Mereka yang ingin menghancurkan umat Islam di Indonesia tidak akan memakai “jubah” Komunis atau Sekuler. Mereka mungkin mengenakan sorban, baju gamis, janggut panjang, atau dahi yang hitam. Merekalah yang setiap saat menyuarakan perpecahan, kebencian terhadap pemimpin atau perbedaan di antara umat. Belajarlah dari sejarah… Mungkin orang-orang seperti ini berada di tengah-tengah kita, dan kita tidak sengaja telah menjadi korban darinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar