Adalah tepat rasanya Firman Allah yang menyatakan
bahwa seorang munafik lebih berbayaha dibandingkan orang kafir. Kenyataan
sejarah menunjukan bahwa kehancuran Islam di Indonesia tidak dilakukan oleh
orang-orang kafir, melainkan oleh mereka yang “menyerang dari dalam”
alias para munafiqun.
Sepanjang berabad-abad perjalanan sejarah bangsa ini
kiranya sudah cukup untuk membuktikan hal tersebut. Serangan bangsa-bangsa
barat ke kerajaan-kerajaan Islam di nusantara terbukti tidak berhasil
menghancurkan keimanan umat Islam melainkan sebaliknya, menguatkan semangat
keislaman mereka. Para penjajah mengetahui hal ini dan mereka akhirnya
melupakan niatan untuk menghilangkan keimanan umat Islam, mereka tidak punya
kekuatan untuk itu. Pilihan akhirnya adalah menguasai umat Islam tanpa perlu
mengubah keimanan mereka. Bagaimana melakukannya ? Cukup kuasai orang-orang
yang keimanannya paling rendah di antara mereka dan jadikan mereka penguasa. Tindakan
ini tentunya akan mendapatkan perlawanan dari kalangan konservatif, oleh karena
itu perlu dilakukan tindakan lain untuk melemahkan kalangan konservatif ini.
Bagaimana caranya ? hancurkan dari dalam. Devide et Impera. Belanda benar-benar
mengetahui titik kelemahan umat Islam di Indonesia yang kekuatannya bagaikan
istana pasir. Berikan sedikit bumbu perpecahan, dan mereka akan segera terpecah
belah.
Strategi tersebut tidak lahir begitu saja melainkan
lewat pengalaman berdarah-darah yang dialami Belanda dalam usahanya menguasai
Nusantara. Adalah berkat jasa seorang Dr. Snouck Hurgronje, upaya
melemahkan perlawanan umat Islam bisa berhasil dilakukan dengan sangat licin.
Sebagian episode praktik Snouck dapat dilihat dalam buku “Perang Gayo Alas
Melawan Kolonialisasi Belanda” (Balai Pustaka, 1983). Buku karangan M.H.
Gayo ini membahas secara khusus peranan Dr. Snouck dalam perang Gayo di awal
abad-20. Sang penulis mengakui kalau Snouck lewat pemikiran-pemikiran liciknya
memiliki andil banyak dalam menghancurkan perlawanan rakyat Gayo terhadap
penjajah. Berikut adalah ringkasan kisahnya.
Perang melawan kolonialis Belanda di Tanah Gayo dan
Alas 1903, adalah bagian dari perang Aceh 1873. Beberapa tahun sebelum dan
selama perang Gayo dan Alas berlangsung, yang menjadi Gubernur Militer Belanda
di Aceh adalah Jenderal Van Heutsz. Ia diangkat menempati posisi tersebut pada
tanggal 10 Mei 1898.
Selama Van Heutsz berkuasa di Aceh, perang Aceh
memasuki periode banjir darah yang yak habis-habisnya. Politik tangan besi
dijalankan. Tidak ada damai dengan pejuang-pejuang terutama dengan para alim
ulama Aceh. Pengejaran terus-menerus terhadap pejuang-pejuang Aceh tak
henti-hentinya. Penghancuran demi penghancuran dilancarkan. Jendera Van Heutsz
di mata rakyat Aceh Gayo dan Alas adalah seorang jenderal yang bengis.
Dalam melaksanakan politik tangan besinya itu, Van
Heutsz mendapat seorang penasihat ulung, seorang kawan lamanya, yaitu Dr. C.
Snouck Hurgronje, seorang ahli tentang Islam, Aceh, dan tentang Gayo, atau
dalam bahasa Belanda Islam kenner, Atjeh kenner, dan Gajo kenner. Dr. Snouck
langsung diangkatnya menjadi penasihat politiknya, segera setelah dia diangkat
menjadi Gubernur Militer Aceh.
Kedua-duanya adalah kawan lama, sejak masih
duduk di bangku sekolah di Breda, Belanda. Snouck sekolah HBS sedangkan Van
Heutsz dalam kursus militer. Kemudian bertemu lagi di Den Haag, Snouck sebagai
guru dan Van Heutsz sekolah di sekolah tinggi militer. Selanjutnya bertemu lagi
di Indonesia, Van Heutsz sebagai komandan batalyon di Meester Cornelis
(Jatinegara), sedang Snouck sebagai penasihat Pemerintah Hindia Belanda.
Akhirnya kedua-duanya bertemu dalam satu lapangan di
medan perang Aceh. Yang satu sebagai Gubernur Militer sedangkan satunya lagi
sebagai penasihat politik, yang memasak, mengolah, mengatur siasat, dan memberi
perintah untuk menghancurkan Aceh, Gayo, dan Alas. Bagi Van Heutsz, Dr. Snouck
seorang yang berjasa baginya, karena dia telah mengusukannya menjadi Gubernur
Militer Aceh.
Snouck sendiri lahir pada tanggal 8 Februari 1857 di
Costerhout Nederland, yang berasal dari keturunan Yahudi. Setelah selesai
sekolah HBS, dia melanjutkan pelajarannya di Sekolah Tinggi Leiden, mempelajari
jurusan teologi, sastra Arab, dan agama Islam. Pada tahun 1880 dia mendapat
promosi doktor dengan proefshrift-nya “Het Mekkaansche Feest” hingga dia
dianggap sebagai ahli tentang Islam.
Sejak di perguruan tinggi, dia telah memperhatikan
perang Aceh, dan telah melihat kekeliruan politik Aceh yang dilaksanakan
pemerintah Belanda, hingga Aceh belum dapat dikalahkan. Karena itu dia memperdalam
pengetahuan mengenai Islam dan Aceh secara lebih mendalam.
Untuk itu Snouck pergi ke Mekah untuk mempelajari
Islam di sana. Selama perang Aceh berlangsung antara 1884 sampai 1885, setelah
perang Aceh berlangsung selama 11 tahun, dengan segala akal busuknya Snouck
menyelundup ke kota suci Mekah dengan menggunakan nama palsu “Abdul Gaffar”. Ia
berhasil masuk dan bermukim di sana dengan segala tipu dayanya.
Selama Snouck alias Abdul Gaffar tinggal di Makkah, ia
berkesempatan untuk bertemu jemaah haji Indonesia yang naik haji di musim haji
ke Mekah. Dia berhasil mendapat keterangan-keterangan penting, mengenai situasi
perang Aceh dari jemaah haji Aceh sendiri. Tidak ada yang curiga kepadanya
karena penampilan begitu meyakinkan.
Selain itu Snouck telah bertemu pula di kota Mekah
dengan seorang pengkhianat Aceh yaitu “Habib Abdurrahman”, Habib Abdurrahman
adalah seorang keturunan Arab yang mendapat kepercayaan dari Sultan Aceh ketika
dia masih berada di Aceh. Karena ketika perang Aceh, Sultan Muhammad Daud masih
muda, maka kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan sementara dipercayakan
kepada kepadanya sebagai Mangkubumi, bersama Panglima Polim dan Malikul Adil.
Tetapi ternyata kemudian bahwa Habib Abdurrahman telah menyalahgunakan
kepercayaan yang diberikan kepadanya. Dia berkhianat kepada Aceh.
Pada tanggal 25 Agustus 1878, dia menulis surat kepada
komando Militer Belanda di Lambaro tentang keinginannya untuk menyerah kepada
Belanda. Van Lamberge dan Van der Heijden menyetujui penyerahan Habib ini.
Habib selanjutnya meminta syarat supaya dia dengan 400 orang famili dan
pengikutnya diberangkatkan ke Mekah dengan kapal perang Belanda . Belanda
kemudian menyetujui dan memberangkatkan dirinya beserta 20 pengikutnya ke
Mekah. Sebelum berangkat dia sempat mengirim surat kepada pemimpin Aceh untuk
menyerah kepada Belanda. Tetapi ajakan itu tidak mendapat sambutan melainkan
Habib Abdurrahman dicap sebagai “pengkhianat”. Di Mekkah Habib Abdurrahman
banyak memberikan informasi berharga seputar Aceh kepada Snouck.
Setelah setahun Snouck berada di Mekah, kedoknya
terbuka, berhubung dengan berita-berita pers di dunia barat, bahwa Abdul Gaffar
bukanlah untuk belajar Agama Islam di Mekah, melainkan seorang Spion. Karena
itu dengan tergesa-gesa Abdul Gaffar keluar dan meninggalkan kota suci Mekah.
Sejak itu Snouck pindah ke Aceh.
Pada tahun 1891 Snouck diangkat menjadi Penasihat
Bahasa Timur dan Hukum Islam dari Pemerintah Hindia Belanda. Kesempatan itu
digunakannya untuk mempelajari Aceh dari segala sisinya. Ia berhasil membuat laporan
penting berjudul “Laporan sekitar situasi agama dan politik di Aceh”. Setelah
itu Snouck juga membuat laporan tentang Tanah Gayo yang berjudul “Tanah Gayo
dan penduduknya”.
Untuk mendapatkan keterangan-keterangan mengenai Gayo
tersebut, Snouck banyak mendapatkan informasi dari ekspedisi pasukan Belanda.
Ekspedisi pertama dilakukan Van Daalen yang ketika itu masih berpangkat Mayor.
Sedangkan ekspedisi kedua dilancarkan Kapten JHL. Scheniders tahun 1902.
Ekspedisi ketiga dipimpin Kapten Van der Maaten. Keempat oleh Letnan Scheepens.
Dan terakhir oleh Kapten Colijn. Akhirnya pada tahun 1903 Snouck berhasil
menerbitkan buku mengenai tanah Gayo tersebut.
Hasil-hasil penelitian Snouck digunakan Gubernur
Militer Aceh, Van Heutzs untuk melakukan penyerangan terhadap Aceh dan Gayo
yang dilakukan korps Marsose di bawah pimpinan Van Daalen tahun 1904. Sebelum
itu Snouck telah sering mengkritik kebijakan militer Belanda di Aceh yang
dianggapnya tidak efektif. Dia menganggap strategi mengurung diri dalam garis
konsentrasi sebagai suatu kesalahan besar.
Tindakan ini sama asrtinya dengan membuat
serdadu-serdadu seperti monyet yang diikat kakinya dalam kurungan, yang kalau
dipukul tidak bisa melakukan pengejaran terhadap pemukulnya.
Politik berdamai dan mencari hubungan dengan Sultan
juga dianggap tidak berguna karena di Aceh alim ulamalah yang memegang kendali
semangat perjuangan rakyat Aceh. Karena itu tidak ada damai dengan kaum aliran
ulama. Kepada mereka hanya pelor yang harus bicara.
Politik tangan besi yang diajukan Snouck baru mendapat
tanggapan ketika Van Heutzs menjabat Gubernur Militer. Keduanya memiliki
pendirian yang bersamaan menghadapi perang Aceh. Di sisi lain, Snouck juga
melakukan politik adu domba antara raja dengan alim ulama, serta
memutarbalikkan ajaran agama Islam berkat keahliannya dalam Islam. Snouck kerap
keluar masuk daerah Gayo dengan menggunakan nama samaran “Haji Putih” atau “Habib
Putih”.
Berkat keahliannya berbahasa Arab dan mengaji Qur’an,
dia mendapat sambutan rakyat dan alim ulama di Tanah Gayo. Kesempatan ini
digunakannya untuk mengorek rahasia kekuatan semangat perjuangan rakyat Gayo,
sambil mengadu domba antara raja-raja dengan para alim ulama, antara ulama
dengan ulama, memutarbalikkan ajaran-ajaran agama, memperbesar perbedaan mazhab
dan sebagainya. Membesar-besarkan kekuatan Belanda agar moril masyarakat jatuh…
Tetapi suatu ketika kedoknya terbuka ketika sedang
mengadakan pengajian di langgar-langgar. Para pejuang Gayo yang hendak
menangkapnya gagal karena ia keburu melarikan diri keluar tanah Gayo.
Demikianlah peranan Dr. Snouck yang dikenal sebagai
ahli tentang Islam, ahli Aceh dan ahli Gayo itu telah mempergunakan keahliannya
untuk menghancurkan Islam, Aceh, Gayo, dan Alas. Ia mendorong Van Heutzs untuk
menggunakan strategi tangan besi. Pejuang-pejuang Aceh harus dikejar terus
menerus, dan dihancurkan tanpa belas kasih. Ketika van Daalen menyerang tanah
Gayo dan Alas tahun 1904, ia meninggalkan pembantaian yang luar biasa.
Pada hakikatnya tiga tokoh perang Dr. Snouck, Van
Heutzs, dan Van Daalen adalah tiga sekawan yang telah membawa kemenangan bagi
Belanda dalam perang Gayo-Alas. Dr. Snouck sebagai otaknya, Van Heutzs sebagai
komando perang dan Van Daalen sebagai algojo pelaksana penyerbuan dan
pembantaian.
Peranan Dr. Snouck telah muncul dalam dasa muka yang
beraneka ragam, dalam perang Aceh, Gayo, dan Alas, Dr. Snouck bukan saja sebagai
seorang sarjana yang telah bekerja untuk kepentingan ilmu pengetahuan, tetapi
juga telah muncul sebagai penyelidik, pelapor, pengadu domba, sebagai spion,
sebagai mata-mata. Sarjana Dr. Snouck telah mempergunakan ilmu pengetahuan
Islamnya untuk menghancurkan rakyat Gayo-Alas dan lawan-lawannya untuk
menjajah, dan menguasai tanah dan rakyatnya.
Dari sedikit kisah di atas pada dasarnya kita bisa
mahfum bahwa bukan kekerasan lah yang bisa menghancurkan umat Islam melainkan
tipu daya. Tiga setengah abad penguasaan Belanda atas Nusantara tidak berhasil
“mengkristenkan” umat Islam tapi mereka berhasil menguasai Umat Islam sehingga
tidak mampu melakukan perlawanan. Bagaimana caranya adalah seperti yang
dilakukan Snouck di Aceh : Mengadu domba antara penguasa dengan alim ulama,
antara ulama dengan ulama, memutarbalikkan ajaran-ajaran agama, memperbesar
perbedaan mazhab dan sebagainya.
Apakah kini umat Islam di Indonesia masih lemah ? Itu
mungkin karena musuh masih menggunakan strategi Snouck di atas. Mereka berusaha
menjauhkan umat Islam dari pemimpinnya, membesar-besarkan perbedaan dan
membajak ajaran agama Islam. Apa yang bisa kita pelajari dari kasus Snouck ini
adalah bahwasannya tokoh pengadu domba itu tampil dalam balutan “sorban dan
kesalehan”. Itulah sebabnya Quran memperingati bahayanya kaum Munafiqun karena
kerusakan yang dihasilkan sangat luar biasa. Mereka yang ingin menghancurkan
umat Islam di Indonesia tidak akan memakai “jubah” Komunis atau Sekuler. Mereka
mungkin mengenakan sorban, baju gamis, janggut panjang, atau dahi yang hitam.
Merekalah yang setiap saat menyuarakan perpecahan, kebencian terhadap pemimpin
atau perbedaan di antara umat. Belajarlah dari sejarah… Mungkin orang-orang
seperti ini berada di tengah-tengah kita, dan kita tidak sengaja telah menjadi
korban darinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar