Barang siapa
masih mencintai dan ingin memelihara keutuhan Republik Indonesia tidak boleh
menutup matanya terhadap kenyataan, bahwa korupsi di kalangan pegawai negeri
dan akibatnya, di kalangan masyarakat umum, sudah menjadi “way of life” atau
“kebudayaan” seperti pernah diucapkan oleh bekas Wakil Presiden dan ko
proklamator Indonesia : Bung Hatta
Sjafrudin Prawiranegara (1911-1989), mantan Presiden
Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang sempat terlibat dalam upaya
“pemberontakan” PRRI tidak berubah sikapnya. Dalam usia 68 tahun itu ia tetap
menunjukkan ketajamannya dalam memperjuangkan idealismenya.
Sebuah buku kecil berjudul Garis-Garis Besar Haluan
Hidup Manusia (G.B.H.M.) membuktikan itu semua. Buku kecil tanpa keterangan
penerbit ini berisi teks khutbah yang diberikan Sjafrudin Prawiranegara dalam
rangka shalat Idul Adha 1399 H. Tanggal 31 Oktober 1979. Aku tertarik untuk
memuat kembali sebagian khutbah Sjafrudin ini karena apa yang menjadi
kegelisahannya tiga puluh tahun yang lalu tersebut tetap kontekstual untuk
diutarakan di masa sekarang.
Khutbah berjudul G.B.H.M. ini jelas sekali menunjukan
kegeraman Sjafrudin terhadap perilaku korup rezim yang berkuasa saat itu.
Syafrudin yang memilih lapangan dakwah sebagai kesibukan masa tuanya memang
kerap menggunakan kesempatan itu untuk mengkritik kondisi negara yang
korup. Berkali-kali bekas tokoh Partai Masyumi ini dilarang naik mimbar oleh pemerintah. Pada
bulan Juni 1985, ia diperiksa sehubungan dengan isi khotbahnya pada hari raya
Idul Fitri 1404 H di masjid Al-A’raf, Tanjung Priok, Jakarta. Tampak sekali
bahwa semangat perlawanan yang dulu pernah berkobar dalam dirinya sewaktu hidup
di masa otoriter Soekarno tidak pernah padam.
Seperti banyak khutbah Idul Adha umumnya, tema utama
Khutbah Sjarifudin diawali dari pembahasan masalah haji. Tapi berbeda dengan
khatib lain di masa itu, Sjafrudin berani mengaitkan tema tersebut dengan
perilaku korup yang banyak melanda pejabat saat itu.
Dalam keadaan seperti sekarang ini, menurut pengamatan
dan penilaian saya, banyak sekali orang naik haji yang tidak memenuhi
syarat-syaratnya dan oleh karena itu diduga hajinya itu sia-sia saja. Karena
persiapan dan perbekalannya, kecuali mungkin perbekalan uang, sama sekali belum
cukup untuk menunaikan ibadah haji secara sempurna, maka banyak di antara haji
itu sepulangnya dari Mekkah, menjalankan kembali praktek-praktek yang sama
sekali berlawanan dengan ajaran-ajaran Islam : Suka bohong, suka
perempuan tanpa nikah, suka mengambil uang yang bukan haknya alias korupsi,
suka gila pangkat hingga mudah menjilat ke atas dan menendang ke bawah dan
lain-lain sebagainya.
Sebagai seorang yang dibesarkan di masa orde baru, aku
sangat mengetahui bagaimana korupnya pemerintahan saat itu. Semua orang
mengetahui kalau pejabat ini dan itu korup, tapi tidak ada yang berani
mengungkapnya. Semua orang takut dikenakan pasal subversif. Semua orang
tahu negeri ini tidak beres, tapi tidak ada yang bisa berbuat apa-apa untuk
memperbaikinya. Yang bisa dilakukan adalah berkeluh kesah, menggerutu, dan
sebagian lain tidak peduli sama sekali. Mereka yang tidak peduli ini, termasuk
di dalamnya mereka yang menikmati keadaan buruk di masa orde baru. Para pejabat
yang dimanjakan kekuasaan, aparat militer yang seakan-akan menduduki kasta tertinggi,
lupa kalau dirinya digaji oleh rakyat yang ditindasnya. Uniknya mereka semua
yang menindas itu mengaku sebagai umat Muslim, kebanyakan dari mereka
menunaikan ibadah Haji. Sjafrudin adalah salah satu yang mengalami kegelisahan
atas fenomena tersebut :
Andaikata 10% saja dari mereka yang telah menjalankan
ibadah haji benar-benar tahu kewajibannya sebagai Muslim yang taqwa, khususnya
haji-haji yang menduduki jabatan – jabatan penting dalam pemerintahan, niscaya
Indonesia tidak akan mengalami “moral erosion” (kemerosotan akhlak) seperti
yang kita alami sekarang. Dimana-mana seolah-olah bukan lagi Allah SWT Tuhan
yang Maha Esa, menjadi pemimpin hidup manusia, tetapi yang menjadi pedoman
hidup adalah Uang yang dianggap maha kuasa.
Sjafrudin menggambarkan kondisi rusaknya moral saat
itu lewat sulitnya pengusaha pribumi, sekalipun dia mantan pejuang, untuk bisa
mendapakan order proyek dari pemerintah tanpa menyuap pegawai negeri yang
berwenang. “Kalau tidak ada uang, pegawai negeri jarang yang mau menolong orang
yang mencari keterangan atau minta haknya, walaupun dia ini sendiri adalah
pegawai negeri pula,” keluh Sjafrudin. Anda familiar dengan kondisi ini ? Tentu
saja. Perubahan rezim orde baru ke orde reformasi ternyata tidak banyak
mengubah perilaku para pegawai negeri kita ini. Di orde reformasi ini bahkan
lebih parah saja rasanya, bayangkan saja seorang hakim konstitusi bisa terlibat
kasus korupsi. Andai tidak ada KPK, tampaknya orde reformasi menghasilkan
koruptor-koruptor paling sadis yang pernah ada dibandingkan masa orde baru. Apa
yang menyebabkan semua itu, Sjarifudin mengingatkan :
Hendaknya kita menjaga, jangan sampai “Panca Sila”
ditukar dengan “Panca Gila”, di mana sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa
diganti dengan Keuangan yang Maha Kuasa dan sila-sila lainnya mengikuti
perubahan itu.
Sedihnya sekali para koruptor itu merasa ibadah haji
bisa menghapuskan dosa mereka. Sehingga tidak aneh ada pejabat yang melakukan
haji berkali-kali, walaupun tidak sesuai dengan prosedur yang ada. “Mereka
bukan menyesal atas perbuatan – perbuatan mereka yang keliru, tobat kepada
Allah dan bersedia menjalani hukuman yang mungkin dijatuhkan Allah atas merekam
dengan ikhlas, serta berjanji untuk memperbaiki diri, tetapi mereka haji justru
dengan maksud supaya Allah SWT. Membiarkan mereka untuk menikmati harta
korupsinya, dan tidak menghukum mereka atas perbuatan jahat mereka, baik di
masa lalu maupun di masa datang,” ujar Sjafrudin.
Tetapi coba lihat di sekeliling kita : betapa
banyaknya haji-haji yang bakhil, haji yang bohong, haji yang berdagang curang,
haji yang lebih suka membantu pemerintah mempertahankan kedudukannya daripada
membantu Allah dan berjihad pada jalannya. Sebab mereka sesungguhnya bukan
beriman dengan Tuhan yang Maha Esa, melainkan dengan uang yang maha kuasa.
Seperti telah kusebutkan sebelumnya, semua orang di
masa orde baru menyadari kalau mereka berada di tangan penguasa yang korup.
Tapi tidak ada yang benar-benar berani menyuarakan kegelisahannya. Sjafrudin
menyoroti ucapan Ketua DPR/MPR Jenderal Daryatno dalam Sinar Harapan tanggal 30
Agustus 1979 yang menyatakan bahwa : “Saya ingin tanya adakah satu negara atau
pemerintahan di dunia ini yang dapat memberantas korupsi secara tuntas. Kalau
ada, kepala negara yang bersangkutan akan saya sewa untuk jadi Presiden di
sini.”
Daryatno mengindikasikan bahwa perilaku korupsi adalah
lazim terjadi di dalam pemerintahan. Tapi cara untuk memberantasnya tidak perlu
dilakukan secara terbuka karena “seorang pemimpin harus melindungi itegritas
anak buahnya”. Dengan kata lain, pengusutan korupsi cukup dilakukan secara
internal saja tanpa perlu diekspose secara meluas. Sjarifudin mengkritik keras
pernyataan tersebut :
Sebab kalau memang kata-katanya itu benar dan menjadi
kebijaksanaan pemerintah, maka tak mungkin korupsi itu dapat diberantas.
Jangankan secara tuntas, secara wajar pun tak mungkin. Sebab kalau dipandang
sebagai suatu hal yang terpuji, bahwa seorang Pemimpin (misalnya Presiden,
Gubernur, atau Komandan) menyelesaikan hal-hal yang tidak baik yang dibuat anak
buah secara “intern” saja, dan tidak boleh memperlihatkan “jeroannya” kepada
umum, itu berarti bahwa pengadilan-pengadilan negara, baik sipil maupun
militer, tidak diberi kesempatan memeriksa secara terbuka dan menjatuhkan
hukuman atas pejabat-pejabat Negara yang telah melakukan korupsi atau telah
melakukan perbuatan – perbuatan kriminil lainnya.
Melihat keadaan tersebut tentu kita patut bersyukur
karena keadaan sekarang lebih baik. Kini kita memiliki KPK yang senantiasa
membuka seluas-luasnya kasus korupsi yang ditanganinya ke masyarakat luas.
Publik bisa mengikuti jalannya pengusutan suatu kasus korupsi yang ditangani
KPK. Kini tidak aneh lagi melihat anggota dewan, polisi, jaksa, hakim,
gubernur, hingga menteri ditangkap dan diproses oleh KPK. Saat orde baru, hal
seperti ini adalah bagaikan mimpi di siang bolong. Yang ada hanyalah pengusutan
perkara-perkara korupsi yang dilakukan pihak swasta, itu pun seringkali
dilakukan untuk memeras pihak yang bersangkutan. Sangat sulit mengharapkan
keadilan di waktu itu. “Tidak jarang terjadi, perkara yang sudah diajukan ke
pengadilan, tidak diputuskan secara adil, yaitu sesuai dengan hukum dan fakta.
Yang salah dibebaskan atau dikenakan hukuman yang ringan sekali, yang tidak
salah atau kurang kesalahannya dikenakan hukuman lebih berat daripada yang
lebih besar kesalahannya.
Sjarifudin percaya bahwa korupsi telah menjadi “way
of life” atau “kebudayaan” dalam hidup masyarakat Indonesia. Sebagai solusi
ia mengajak masyarakat untuk kembali mengamalkan G.B.H.M. atau Garis-Garis
Besar Haluan Hidup Manusia. Caranya diantaranya adalah dengan kembali kepada
ajaran Allah secara ikhlas dan konsekwen. Sjarifudin menyeru kepada
segenap mujahidin untuk memberi contoh dengan cara :
a. Memberi itu lebih baik daripada meminta
b. Miskin itu lebih baik daripada mencuri
c. Rezeki itu datangnya dari Allah dengan kerja keras,
dan melalui jalan-jalan yang acapkali tak terduga
d. Akhirnya kita semua akan kembali kepada Allah Swt.
dan meniggalkan dunia yang fana ini dengan segala kekayaan yang kita kumpulkan.
Kalau mau, menurut Sjafrudin, korupsi dapat diberantas
dalam satu atau dua tahun saja, asal dipelopori dan dipimpin oleh Presiden
sendiri, bukan dengan cara menyembunyikan perbuatan kotor anak buahnya seperti
resep Ketua DPR/MPR. Beberapa langkah yang bisa dilaksanakan adalah Presiden
mengumumkan fakta-fakta tentang koruptor dan menyita harta mereka. Setelah itu
presiden memberi contoh dengan mengangkat panitia yang memeriksa kekayaannya
dan keluarga dekatnya. Terakhir diadakan perubahan undang-undang Pemilihan Umum
dan Kepartaian sehingga : anggota MPR/DPR yang diangkat presiden tidak lebih
banyak dari 15%, Partai politik bebas mengajukan calon dewan tanpa intervensi
pemerintah, serta pencabutan paksaan pegawai negeri menjadi anggota Golkar.
Kalau juga Presiden tidak luput dari pengawasan dan
koreksi atas cara dan kebijaksanaan menjalankan Pemerintahan dan
anggota-anggota DPR dan MPR tidak takut lagi ditarik kembali, kecuali yang
diangkat, maka ada jaminan yang nyata bahwa kebersihan Pemerintahan dapat
dipelihara secara baik…
Ah, kini aku menggerutu layaknya Sjafrudin. Gerutuan
khas orang tua yang tidak pernah puas atas kondisi bangsanya. Ya, aku harus
mengakui kesalahan generasiku sehingga menghasilkan kondisi demikian. Kami
dibesarkan rezim orde baru yang permisif terhadap perilaku korup, aku hanya
berharap generasi selanjutnya mengetahui bahwa tidak benar hidup di jaman orde
baru itu lebih enak. Bohong benar itu! Hidup di jaman Orde Baru memang
enak bagi mereka yang berjiwa koruptor, tapi siksaan bagi mereka yang
merindukan keadilan.
Orde reformasi memang tidak sempurna, tapi kondisinya
jauh lebih baik daripada orde baru. Kebencian terhadap perilaku korup mulai
tampak, terutama lewat dukungan segenap masyarakat terhadap KPK. Harapan itu
ada. Tapi apabila Sjarifudin Prawiranegara hidup saat ini, aku ragu ia akan
merasa puas.
Seperti kita lihat saat ini, langkah-langkah pemberantasan
Korupsi yang diajukan Sjarifudin Prawiranegara sudah diwujudkan. Transparansi
kekayaan pejabat sudah dilaksanakan, intervensi pemerintah terhadap calon
anggota dewan dihilangkan, pegawai negeri sudah dinyatakan netral. Tetapi
karena pesannya untuk “Kembali kepada ajaran Allah secara ikhlas dan konsekwen”
tidak juga dilaksanakan, maka Korupsi akan selalu mencari cara dan jalan baru
untuk tetap bisa beroperasi. Terbukti hingga sekarang korupsi tetap terjadi
walaupun satu demi satu koruptor memenuhi ruang tahanan. Selama kita berkutat
kepada obat, bukan penyebab korupsi, maka akan sulit sekali masalah ini
dihilangkan dari kehidupan kebangsaan bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar