Kamis, 06 April 2017

Sjafrudin Prawiranegara dari anyar kidul BANTEN

Barang siapa masih mencintai dan ingin memelihara keutuhan Republik Indonesia tidak boleh menutup matanya terhadap kenyataan, bahwa korupsi di kalangan pegawai negeri dan akibatnya, di kalangan masyarakat umum, sudah menjadi “way of life” atau “kebudayaan” seperti pernah diucapkan oleh bekas Wakil Presiden dan ko proklamator Indonesia : Bung Hatta
Sjafrudin Prawiranegara (1911-1989), mantan Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang sempat terlibat dalam upaya “pemberontakan” PRRI tidak berubah sikapnya. Dalam usia 68 tahun itu ia tetap menunjukkan ketajamannya dalam memperjuangkan idealismenya.
Sebuah buku kecil berjudul Garis-Garis Besar Haluan Hidup Manusia (G.B.H.M.) membuktikan itu semua. Buku kecil tanpa keterangan penerbit ini berisi teks khutbah yang diberikan Sjafrudin Prawiranegara dalam rangka shalat Idul Adha 1399 H. Tanggal 31 Oktober 1979. Aku tertarik untuk memuat kembali sebagian khutbah Sjafrudin ini karena apa yang menjadi kegelisahannya tiga puluh tahun yang lalu tersebut tetap kontekstual untuk diutarakan di masa sekarang.
Khutbah berjudul G.B.H.M. ini jelas sekali menunjukan kegeraman Sjafrudin terhadap perilaku korup rezim yang berkuasa saat itu. Syafrudin yang memilih lapangan dakwah sebagai kesibukan masa tuanya memang kerap menggunakan kesempatan itu untuk mengkritik kondisi negara yang korup.  Berkali-kali bekas tokoh Partai Masyumi ini dilarang naik mimbar oleh pemerintah. Pada bulan Juni 1985, ia diperiksa sehubungan dengan isi khotbahnya pada hari raya Idul Fitri 1404 H di masjid Al-A’raf, Tanjung Priok, Jakarta. Tampak sekali bahwa semangat perlawanan yang dulu pernah berkobar dalam dirinya sewaktu hidup di masa otoriter Soekarno tidak pernah padam.
Seperti banyak khutbah Idul Adha umumnya, tema utama Khutbah Sjarifudin diawali dari pembahasan masalah haji. Tapi berbeda dengan khatib lain di masa itu, Sjafrudin berani mengaitkan tema tersebut dengan perilaku korup yang banyak melanda pejabat saat itu.
Dalam keadaan seperti sekarang ini, menurut pengamatan dan penilaian saya, banyak sekali orang naik haji yang tidak memenuhi syarat-syaratnya dan oleh karena itu diduga hajinya itu sia-sia saja. Karena persiapan dan perbekalannya, kecuali mungkin perbekalan uang, sama sekali belum cukup untuk menunaikan ibadah haji secara sempurna, maka banyak di antara haji itu sepulangnya dari Mekkah, menjalankan kembali praktek-praktek yang sama sekali berlawanan  dengan ajaran-ajaran Islam : Suka bohong, suka perempuan tanpa nikah, suka mengambil uang yang bukan haknya alias korupsi, suka gila pangkat hingga mudah menjilat ke atas dan menendang ke bawah dan lain-lain sebagainya.
Sebagai seorang yang dibesarkan di masa orde baru, aku sangat mengetahui bagaimana korupnya pemerintahan saat itu. Semua orang mengetahui kalau pejabat ini dan itu korup, tapi tidak ada yang berani mengungkapnya. Semua orang takut dikenakan pasal subversif. Semua orang  tahu negeri ini tidak beres, tapi tidak ada yang bisa berbuat apa-apa untuk memperbaikinya. Yang bisa dilakukan adalah berkeluh kesah, menggerutu, dan sebagian lain tidak peduli sama sekali. Mereka yang tidak peduli ini, termasuk di dalamnya mereka yang menikmati keadaan buruk di masa orde baru. Para pejabat yang dimanjakan kekuasaan, aparat militer yang seakan-akan menduduki kasta tertinggi, lupa kalau dirinya digaji oleh rakyat yang ditindasnya. Uniknya mereka semua yang menindas itu mengaku sebagai umat Muslim, kebanyakan dari mereka menunaikan ibadah Haji. Sjafrudin adalah salah satu yang mengalami kegelisahan atas fenomena tersebut :
Andaikata 10% saja dari mereka yang telah menjalankan ibadah haji benar-benar tahu kewajibannya sebagai Muslim yang taqwa, khususnya haji-haji yang menduduki jabatan – jabatan penting dalam pemerintahan, niscaya Indonesia tidak akan mengalami “moral erosion” (kemerosotan akhlak) seperti yang kita alami sekarang. Dimana-mana seolah-olah bukan lagi Allah SWT Tuhan yang Maha Esa, menjadi pemimpin hidup manusia, tetapi yang menjadi pedoman hidup adalah Uang yang dianggap maha kuasa.
Sjafrudin menggambarkan kondisi rusaknya moral saat itu lewat sulitnya pengusaha pribumi, sekalipun dia mantan pejuang, untuk bisa mendapakan order proyek dari pemerintah tanpa menyuap pegawai negeri yang berwenang. “Kalau tidak ada uang, pegawai negeri jarang yang mau menolong orang yang mencari keterangan atau minta haknya, walaupun dia ini sendiri adalah pegawai negeri pula,” keluh Sjafrudin. Anda familiar dengan kondisi ini ? Tentu saja. Perubahan rezim orde baru ke orde reformasi ternyata tidak banyak mengubah perilaku para pegawai negeri kita ini. Di orde reformasi ini bahkan lebih parah saja rasanya, bayangkan saja seorang hakim konstitusi bisa terlibat kasus korupsi. Andai tidak ada KPK, tampaknya orde reformasi menghasilkan koruptor-koruptor paling sadis yang pernah ada dibandingkan masa orde baru. Apa yang menyebabkan semua itu, Sjarifudin mengingatkan :
Hendaknya kita menjaga, jangan sampai “Panca Sila” ditukar dengan “Panca Gila”, di mana sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa diganti dengan Keuangan yang Maha Kuasa dan sila-sila lainnya mengikuti perubahan itu.
Sedihnya sekali para koruptor itu merasa ibadah haji bisa menghapuskan dosa mereka. Sehingga tidak aneh ada pejabat yang melakukan haji berkali-kali, walaupun tidak sesuai dengan prosedur yang ada. “Mereka bukan menyesal atas perbuatan – perbuatan mereka yang keliru, tobat kepada Allah dan bersedia menjalani hukuman yang mungkin dijatuhkan Allah atas merekam dengan ikhlas, serta berjanji untuk memperbaiki diri, tetapi mereka haji justru dengan maksud supaya Allah SWT. Membiarkan mereka untuk menikmati harta korupsinya, dan tidak menghukum mereka atas perbuatan jahat mereka, baik di masa lalu maupun di masa datang,” ujar Sjafrudin.
Tetapi coba lihat di sekeliling kita : betapa banyaknya haji-haji yang bakhil, haji yang bohong, haji yang berdagang curang, haji yang lebih suka membantu pemerintah mempertahankan kedudukannya daripada membantu Allah dan berjihad pada jalannya. Sebab mereka sesungguhnya bukan beriman dengan Tuhan yang Maha Esa, melainkan dengan uang yang maha kuasa.
Seperti telah kusebutkan sebelumnya, semua orang di masa orde baru menyadari kalau mereka berada di tangan penguasa yang korup. Tapi tidak ada yang benar-benar berani menyuarakan kegelisahannya. Sjafrudin menyoroti ucapan Ketua DPR/MPR Jenderal Daryatno dalam Sinar Harapan tanggal 30 Agustus 1979 yang menyatakan bahwa : “Saya ingin tanya adakah satu negara atau pemerintahan di dunia ini yang dapat memberantas korupsi secara tuntas. Kalau ada, kepala negara yang bersangkutan akan saya sewa untuk jadi Presiden di sini.”
Daryatno mengindikasikan bahwa perilaku korupsi adalah lazim terjadi di dalam pemerintahan. Tapi cara untuk memberantasnya tidak perlu dilakukan secara terbuka karena “seorang pemimpin harus melindungi itegritas anak buahnya”. Dengan kata lain, pengusutan korupsi cukup dilakukan secara internal saja tanpa perlu diekspose secara meluas. Sjarifudin mengkritik keras pernyataan tersebut :
Sebab kalau memang kata-katanya itu benar dan menjadi kebijaksanaan pemerintah, maka tak mungkin korupsi itu dapat diberantas. Jangankan secara tuntas, secara wajar pun tak mungkin. Sebab kalau dipandang sebagai suatu hal yang terpuji, bahwa seorang Pemimpin (misalnya Presiden, Gubernur, atau Komandan) menyelesaikan hal-hal yang tidak baik yang dibuat anak buah secara “intern” saja, dan tidak boleh memperlihatkan “jeroannya” kepada umum, itu berarti bahwa pengadilan-pengadilan negara, baik sipil maupun militer, tidak diberi kesempatan memeriksa secara terbuka dan menjatuhkan hukuman atas pejabat-pejabat Negara yang telah melakukan korupsi atau telah melakukan perbuatan – perbuatan kriminil lainnya.
Melihat keadaan tersebut tentu kita patut bersyukur karena keadaan sekarang lebih baik. Kini kita memiliki KPK yang senantiasa membuka seluas-luasnya kasus korupsi yang ditanganinya ke masyarakat luas. Publik bisa mengikuti jalannya pengusutan suatu kasus korupsi yang ditangani KPK. Kini tidak aneh lagi melihat anggota dewan, polisi, jaksa, hakim, gubernur, hingga menteri ditangkap dan diproses oleh KPK. Saat orde baru, hal seperti ini adalah bagaikan mimpi di siang bolong. Yang ada hanyalah pengusutan perkara-perkara korupsi yang dilakukan pihak swasta, itu pun seringkali dilakukan untuk memeras pihak yang bersangkutan. Sangat sulit mengharapkan keadilan di waktu itu. “Tidak jarang terjadi, perkara yang sudah diajukan ke pengadilan, tidak diputuskan secara adil, yaitu sesuai dengan hukum dan fakta. Yang salah dibebaskan atau dikenakan hukuman yang ringan sekali, yang tidak salah atau kurang kesalahannya dikenakan hukuman lebih berat daripada yang lebih besar kesalahannya.
Sjarifudin percaya bahwa korupsi telah menjadi “way of life” atau “kebudayaan” dalam hidup masyarakat Indonesia. Sebagai solusi ia mengajak masyarakat untuk kembali mengamalkan G.B.H.M. atau Garis-Garis Besar Haluan Hidup Manusia. Caranya diantaranya adalah dengan kembali kepada ajaran Allah secara ikhlas dan konsekwen.  Sjarifudin menyeru kepada segenap mujahidin untuk memberi contoh dengan cara :
a. Memberi itu lebih baik daripada meminta
b. Miskin itu lebih baik daripada mencuri
c. Rezeki itu datangnya dari Allah dengan kerja keras, dan melalui jalan-jalan yang acapkali tak terduga
d. Akhirnya kita semua akan kembali kepada Allah Swt. dan meniggalkan dunia yang fana ini dengan segala kekayaan yang kita kumpulkan.
Kalau mau, menurut Sjafrudin, korupsi dapat diberantas dalam satu atau dua tahun saja, asal dipelopori dan dipimpin oleh Presiden sendiri, bukan dengan cara menyembunyikan perbuatan kotor anak buahnya seperti resep Ketua DPR/MPR. Beberapa langkah yang bisa dilaksanakan adalah Presiden mengumumkan fakta-fakta tentang koruptor dan menyita harta mereka. Setelah itu presiden memberi contoh dengan mengangkat panitia yang memeriksa kekayaannya dan keluarga dekatnya. Terakhir diadakan perubahan undang-undang Pemilihan Umum dan Kepartaian sehingga : anggota MPR/DPR yang diangkat presiden tidak lebih banyak dari 15%, Partai politik bebas mengajukan calon dewan tanpa intervensi pemerintah, serta pencabutan paksaan pegawai negeri menjadi anggota Golkar.
Kalau juga Presiden tidak luput dari pengawasan dan koreksi atas cara dan kebijaksanaan menjalankan Pemerintahan dan anggota-anggota DPR dan MPR tidak takut lagi ditarik kembali, kecuali yang diangkat, maka ada jaminan yang nyata bahwa kebersihan Pemerintahan dapat dipelihara secara baik…




Ah, kini aku menggerutu layaknya Sjafrudin. Gerutuan khas orang tua yang tidak pernah puas atas kondisi bangsanya. Ya, aku harus mengakui kesalahan generasiku sehingga menghasilkan kondisi demikian. Kami dibesarkan rezim orde baru yang permisif terhadap perilaku korup, aku hanya berharap generasi selanjutnya mengetahui bahwa tidak benar hidup di jaman orde baru itu lebih enak. Bohong benar itu! Hidup di jaman Orde Baru memang enak  bagi mereka yang berjiwa koruptor, tapi siksaan bagi mereka yang merindukan keadilan.
Orde reformasi memang tidak sempurna, tapi kondisinya jauh lebih baik daripada orde baru. Kebencian terhadap perilaku korup mulai tampak, terutama lewat dukungan segenap masyarakat terhadap KPK. Harapan itu ada. Tapi apabila Sjarifudin Prawiranegara hidup saat ini, aku ragu ia akan merasa puas.
Seperti kita lihat saat ini, langkah-langkah pemberantasan Korupsi yang diajukan Sjarifudin Prawiranegara sudah diwujudkan. Transparansi kekayaan pejabat sudah dilaksanakan, intervensi pemerintah terhadap calon anggota dewan dihilangkan, pegawai negeri sudah dinyatakan netral. Tetapi karena pesannya untuk “Kembali kepada ajaran Allah secara ikhlas dan konsekwen” tidak juga dilaksanakan, maka Korupsi akan selalu mencari cara dan jalan baru untuk tetap bisa beroperasi. Terbukti hingga sekarang korupsi tetap terjadi walaupun satu demi satu koruptor memenuhi ruang tahanan. Selama kita berkutat kepada obat, bukan penyebab korupsi, maka akan sulit sekali masalah ini dihilangkan dari kehidupan kebangsaan bangsa Indonesia.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar