Kamis, 13 April 2017

13.4C.25 tugas takehome

Panduan & Sistematika Penulisan Tugas Akhir ( TA )
tulis pertanyaan dan jelaskan disetiap jawaban tersebut

11.4A.25 tugas take home

Panduan & Sistematika Penulisan Tugas Akhir ( TA )
soal dan jawaban dan jelaskan 

Dr. Snouck adalah manusia dasa muka, seorang sarjana dan mata-mata

Adalah tepat rasanya Firman Allah yang menyatakan bahwa seorang munafik lebih berbayaha dibandingkan orang kafir. Kenyataan sejarah menunjukan bahwa kehancuran Islam di Indonesia tidak dilakukan oleh orang-orang kafir,  melainkan oleh mereka yang “menyerang dari dalam” alias para munafiqun.
Sepanjang berabad-abad perjalanan sejarah bangsa ini kiranya sudah cukup untuk membuktikan hal tersebut. Serangan bangsa-bangsa barat ke kerajaan-kerajaan Islam di nusantara terbukti tidak berhasil menghancurkan keimanan umat Islam melainkan sebaliknya, menguatkan semangat keislaman mereka. Para penjajah mengetahui hal ini dan mereka akhirnya melupakan niatan untuk menghilangkan keimanan umat Islam, mereka tidak punya kekuatan untuk itu. Pilihan akhirnya adalah menguasai umat Islam tanpa perlu mengubah keimanan mereka. Bagaimana melakukannya ? Cukup kuasai orang-orang yang keimanannya paling rendah di antara mereka dan jadikan mereka penguasa. Tindakan ini tentunya akan mendapatkan perlawanan dari kalangan konservatif, oleh karena itu perlu dilakukan tindakan lain untuk melemahkan kalangan konservatif ini. Bagaimana caranya ? hancurkan dari dalam. Devide et Impera. Belanda benar-benar mengetahui titik kelemahan umat Islam di Indonesia yang kekuatannya bagaikan istana pasir. Berikan sedikit bumbu perpecahan, dan mereka akan segera terpecah belah.
Strategi tersebut tidak lahir begitu saja melainkan lewat pengalaman berdarah-darah yang dialami Belanda dalam usahanya menguasai Nusantara. Adalah berkat jasa seorang Dr. Snouck Hurgronje,  upaya melemahkan perlawanan umat Islam bisa berhasil dilakukan dengan sangat licin. Sebagian episode praktik Snouck dapat dilihat dalam buku “Perang Gayo Alas Melawan Kolonialisasi Belanda” (Balai Pustaka, 1983). Buku karangan M.H. Gayo ini membahas secara khusus peranan Dr. Snouck dalam perang Gayo di awal abad-20. Sang penulis mengakui kalau Snouck lewat pemikiran-pemikiran liciknya memiliki andil banyak dalam menghancurkan perlawanan rakyat Gayo terhadap penjajah. Berikut adalah ringkasan kisahnya.

Perang melawan kolonialis Belanda di Tanah Gayo dan Alas 1903, adalah bagian dari perang Aceh 1873. Beberapa tahun sebelum dan selama perang Gayo dan Alas berlangsung, yang menjadi Gubernur Militer Belanda di Aceh adalah Jenderal Van Heutsz. Ia diangkat menempati posisi tersebut pada tanggal 10 Mei 1898.
Selama Van Heutsz berkuasa di Aceh, perang Aceh memasuki periode banjir darah yang yak habis-habisnya. Politik tangan besi dijalankan. Tidak ada damai dengan pejuang-pejuang terutama dengan para alim ulama Aceh. Pengejaran terus-menerus terhadap pejuang-pejuang Aceh tak henti-hentinya. Penghancuran demi penghancuran dilancarkan. Jendera Van Heutsz di mata rakyat Aceh Gayo dan Alas adalah seorang jenderal yang bengis.
Dalam melaksanakan politik tangan besinya itu, Van Heutsz mendapat seorang penasihat ulung, seorang kawan lamanya, yaitu Dr. C. Snouck Hurgronje, seorang ahli tentang Islam, Aceh, dan tentang Gayo, atau dalam bahasa Belanda Islam kenner, Atjeh kenner, dan Gajo kenner. Dr. Snouck langsung diangkatnya menjadi penasihat politiknya, segera setelah dia diangkat menjadi Gubernur Militer Aceh.
 Kedua-duanya adalah kawan lama, sejak masih duduk di bangku sekolah di Breda, Belanda. Snouck sekolah HBS sedangkan Van Heutsz dalam kursus militer. Kemudian bertemu lagi di Den Haag, Snouck sebagai guru dan Van Heutsz sekolah di sekolah tinggi militer. Selanjutnya bertemu lagi di Indonesia, Van Heutsz sebagai komandan batalyon di Meester Cornelis (Jatinegara), sedang Snouck sebagai penasihat Pemerintah Hindia Belanda.
Akhirnya kedua-duanya bertemu dalam satu lapangan di medan perang Aceh. Yang satu sebagai Gubernur Militer sedangkan satunya lagi sebagai penasihat politik, yang memasak, mengolah, mengatur siasat, dan memberi perintah untuk menghancurkan Aceh, Gayo, dan Alas. Bagi Van Heutsz, Dr. Snouck seorang yang berjasa baginya, karena dia telah mengusukannya menjadi Gubernur Militer Aceh.

Snouck sendiri lahir pada tanggal 8 Februari 1857 di Costerhout Nederland, yang berasal dari keturunan Yahudi. Setelah selesai sekolah HBS, dia melanjutkan pelajarannya di Sekolah Tinggi Leiden, mempelajari jurusan teologi, sastra Arab, dan agama Islam. Pada tahun 1880 dia mendapat promosi doktor dengan proefshrift-nya “Het Mekkaansche Feest” hingga dia dianggap sebagai ahli tentang Islam.
Sejak di perguruan tinggi, dia telah memperhatikan perang Aceh, dan telah melihat kekeliruan politik Aceh yang dilaksanakan pemerintah Belanda, hingga Aceh belum dapat dikalahkan. Karena itu dia memperdalam pengetahuan mengenai Islam dan Aceh secara lebih mendalam.
Untuk itu Snouck pergi ke Mekah untuk mempelajari Islam di sana. Selama perang Aceh berlangsung antara 1884 sampai 1885, setelah perang Aceh berlangsung selama 11 tahun, dengan segala akal busuknya Snouck menyelundup ke kota suci Mekah dengan menggunakan nama palsu “Abdul Gaffar”. Ia berhasil masuk dan bermukim di sana dengan segala tipu dayanya.
Selama Snouck alias Abdul Gaffar tinggal di Makkah, ia berkesempatan untuk bertemu jemaah haji Indonesia yang naik haji di musim haji ke Mekah. Dia berhasil mendapat keterangan-keterangan penting, mengenai situasi perang Aceh dari jemaah haji Aceh sendiri. Tidak ada yang curiga kepadanya karena penampilan begitu meyakinkan.
Selain itu Snouck telah bertemu pula di kota Mekah dengan seorang pengkhianat Aceh yaitu “Habib Abdurrahman”, Habib Abdurrahman adalah seorang keturunan Arab yang mendapat kepercayaan dari Sultan Aceh ketika dia masih berada di Aceh. Karena ketika perang Aceh, Sultan Muhammad Daud masih muda, maka kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan sementara dipercayakan kepada kepadanya sebagai Mangkubumi, bersama Panglima Polim dan Malikul Adil. Tetapi ternyata kemudian bahwa Habib Abdurrahman telah menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Dia berkhianat kepada Aceh.
Pada tanggal 25 Agustus 1878, dia menulis surat kepada komando Militer Belanda di Lambaro tentang keinginannya untuk menyerah kepada Belanda. Van Lamberge dan Van der Heijden menyetujui penyerahan Habib ini. Habib selanjutnya meminta syarat supaya dia dengan 400 orang famili dan pengikutnya diberangkatkan ke Mekah dengan kapal perang Belanda . Belanda kemudian menyetujui dan memberangkatkan dirinya beserta 20 pengikutnya ke Mekah. Sebelum berangkat dia sempat mengirim surat kepada pemimpin Aceh untuk menyerah kepada Belanda. Tetapi ajakan itu tidak mendapat sambutan melainkan Habib Abdurrahman dicap sebagai “pengkhianat”. Di Mekkah Habib Abdurrahman banyak memberikan informasi berharga seputar Aceh kepada Snouck.
Setelah setahun Snouck berada di Mekah, kedoknya terbuka, berhubung dengan berita-berita pers di dunia barat, bahwa Abdul Gaffar bukanlah untuk belajar Agama Islam di Mekah, melainkan seorang Spion. Karena itu dengan tergesa-gesa Abdul Gaffar keluar dan meninggalkan kota suci Mekah. Sejak itu Snouck pindah ke Aceh.
Pada tahun 1891 Snouck diangkat menjadi Penasihat Bahasa Timur dan Hukum Islam dari Pemerintah Hindia Belanda. Kesempatan itu digunakannya untuk mempelajari Aceh dari segala sisinya. Ia berhasil membuat laporan penting berjudul “Laporan sekitar situasi agama dan politik di Aceh”. Setelah itu Snouck juga membuat laporan tentang Tanah Gayo yang berjudul “Tanah Gayo dan penduduknya”.
Untuk mendapatkan keterangan-keterangan mengenai Gayo tersebut, Snouck banyak mendapatkan informasi dari ekspedisi pasukan Belanda. Ekspedisi pertama dilakukan Van Daalen yang ketika itu masih berpangkat Mayor. Sedangkan ekspedisi kedua dilancarkan Kapten JHL. Scheniders tahun 1902. Ekspedisi ketiga dipimpin Kapten Van der Maaten. Keempat oleh Letnan Scheepens. Dan terakhir oleh Kapten Colijn. Akhirnya pada tahun 1903 Snouck berhasil menerbitkan buku mengenai tanah Gayo tersebut.
Hasil-hasil penelitian Snouck digunakan Gubernur Militer Aceh, Van Heutzs untuk melakukan penyerangan terhadap Aceh dan Gayo yang dilakukan korps Marsose di bawah pimpinan Van Daalen tahun 1904. Sebelum itu Snouck telah sering mengkritik kebijakan militer Belanda di Aceh yang dianggapnya tidak efektif. Dia menganggap strategi mengurung diri dalam garis konsentrasi sebagai suatu kesalahan besar.
Tindakan ini sama asrtinya dengan membuat serdadu-serdadu seperti monyet yang diikat kakinya dalam kurungan, yang kalau dipukul tidak bisa melakukan pengejaran terhadap pemukulnya.
Politik berdamai dan mencari hubungan dengan Sultan juga dianggap tidak berguna karena di Aceh alim ulamalah yang memegang kendali semangat perjuangan rakyat Aceh. Karena itu tidak ada damai dengan kaum aliran ulama. Kepada mereka hanya pelor yang harus bicara.

Politik tangan besi yang diajukan Snouck baru mendapat tanggapan ketika Van Heutzs menjabat Gubernur Militer. Keduanya memiliki pendirian yang bersamaan menghadapi perang Aceh. Di sisi lain, Snouck juga melakukan politik adu domba antara raja dengan alim ulama, serta memutarbalikkan ajaran agama Islam berkat keahliannya dalam Islam. Snouck kerap keluar masuk daerah Gayo dengan menggunakan nama samaran “Haji Putih” atau “Habib Putih”.
Berkat keahliannya berbahasa Arab dan mengaji Qur’an, dia mendapat sambutan rakyat dan alim ulama di Tanah Gayo. Kesempatan ini digunakannya untuk mengorek rahasia kekuatan semangat perjuangan rakyat Gayo, sambil mengadu domba antara raja-raja dengan para alim ulama, antara ulama dengan ulama, memutarbalikkan ajaran-ajaran agama, memperbesar perbedaan mazhab dan sebagainya. Membesar-besarkan kekuatan Belanda agar moril masyarakat jatuh…
Tetapi suatu ketika kedoknya terbuka ketika sedang mengadakan pengajian di langgar-langgar. Para pejuang Gayo yang hendak menangkapnya gagal karena ia keburu melarikan diri keluar tanah Gayo.
Demikianlah peranan Dr. Snouck yang dikenal sebagai ahli tentang Islam, ahli Aceh dan ahli Gayo itu telah mempergunakan keahliannya untuk menghancurkan Islam, Aceh, Gayo, dan Alas. Ia mendorong Van Heutzs untuk menggunakan strategi tangan besi. Pejuang-pejuang Aceh harus dikejar terus menerus, dan dihancurkan tanpa belas kasih. Ketika van Daalen menyerang tanah Gayo dan Alas tahun 1904, ia meninggalkan pembantaian yang luar biasa.

Pada hakikatnya tiga tokoh perang Dr. Snouck, Van Heutzs, dan Van Daalen adalah tiga sekawan yang telah membawa kemenangan bagi Belanda dalam perang Gayo-Alas. Dr. Snouck sebagai otaknya, Van Heutzs sebagai komando perang dan Van Daalen sebagai algojo pelaksana penyerbuan dan pembantaian.
Peranan Dr. Snouck telah muncul dalam dasa muka yang beraneka ragam, dalam perang Aceh, Gayo, dan Alas, Dr. Snouck bukan saja sebagai seorang sarjana yang telah bekerja untuk kepentingan ilmu pengetahuan, tetapi juga telah muncul sebagai penyelidik, pelapor, pengadu domba, sebagai spion, sebagai mata-mata. Sarjana Dr. Snouck telah mempergunakan ilmu pengetahuan Islamnya untuk menghancurkan rakyat Gayo-Alas dan lawan-lawannya untuk menjajah, dan menguasai tanah dan rakyatnya.

Dari sedikit kisah di atas pada dasarnya kita bisa mahfum bahwa bukan kekerasan lah yang bisa menghancurkan umat Islam melainkan tipu daya. Tiga setengah abad penguasaan Belanda atas Nusantara tidak berhasil “mengkristenkan” umat Islam tapi mereka berhasil menguasai Umat Islam sehingga tidak mampu melakukan perlawanan. Bagaimana caranya adalah seperti yang dilakukan Snouck di Aceh : Mengadu domba antara penguasa dengan alim ulama, antara ulama dengan ulama, memutarbalikkan ajaran-ajaran agama, memperbesar perbedaan mazhab dan sebagainya.
Apakah kini umat Islam di Indonesia masih lemah ? Itu mungkin karena musuh masih menggunakan strategi Snouck di atas. Mereka berusaha menjauhkan umat Islam dari pemimpinnya, membesar-besarkan perbedaan dan membajak ajaran agama Islam. Apa yang bisa kita pelajari dari kasus Snouck ini adalah bahwasannya tokoh pengadu domba itu tampil dalam balutan “sorban dan kesalehan”. Itulah sebabnya Quran memperingati bahayanya kaum Munafiqun karena kerusakan yang dihasilkan sangat luar biasa. Mereka yang ingin menghancurkan umat Islam di Indonesia tidak akan memakai “jubah” Komunis atau Sekuler. Mereka mungkin mengenakan sorban, baju gamis, janggut panjang, atau dahi yang hitam. Merekalah yang setiap saat menyuarakan perpecahan, kebencian terhadap pemimpin atau perbedaan di antara umat. Belajarlah dari sejarah… Mungkin orang-orang seperti ini berada di tengah-tengah kita, dan kita tidak sengaja telah menjadi korban darinya.


Rabu, 12 April 2017

Geger Batavia




“Tidak ada tenaga yang lebih cocok untuk tujuan kita atau yang dapat dikerahkan dengan  sama mudahnya, selain orang-orang Cina” -Jan Pieterszoon Coen-
“Kenapa sih Mbak Santi sering sekali mengulas tentang Tionghoa? ” temanku bertanya. Aku tidak akan memberikan jawaban yang muluk-muluk untuk itu. Bagiku membahas tema Tionghoa begitu menarik selain karena keunikan budayanya, juga karena perkembangan politik akhir-akhir yang menurutku menjurus kepada situasi berbahaya. Bagi segelintir politisi yang tidak bertanggung jawab, mengumbar isu SARA, khususnya yang berhubungan dengan minoritas, memang kerap dianggap sebagai cara jitu untuk membakar emosi publik yang kurang cerdas.  Sejarah membuktikan itu. Apabila kita menarik benang merah dari tindakan pembantaian yang dilakukan tokoh-tokoh seperti Hitler terhadap orang Yahudi,  Radovan Karadžić terhadap muslim di Bosnia, Pemerintah Ottoman terhadap orang Armenia dan lainnya, bisa disimpulkan bahwa kebijakan tersebut seringkali disebabkan oleh sentimen mayoritas terhadap minoritas yang tidak bisa didasarkan atas kemanusiaan dan ajaran agama apapun. Kini jangankan di Indonesia, bahkan di Amerika Serikatpun, yang usia demokrasinya sudah sangat dewasa, seorang Donald Trump yang mengusung isu “anti asing” bisa begitu populer. Hal itu menunjukan bahwa ternyata masih banyak warga Amerika yang berfikiran sempit.
Khusus bagiku adalah hal yang sangat aneh ketika melihat seorang warga Indonesia apalagi Muslim mengusung sentimen SARA. Ajaran Quran yang mana yang menyebutkan suatu suku atau ras diciptakan lebih lebih tinggi atau rendah dibanding lainnya. Malah menurutku seseorang yang mengangkat isu SARA tidak lain telah mengecilkan kekuasaan Tuhan dengan menganggap berkah Tuhan hanya diberikan untuk kaum atau kelompoknya saja. Bukankah Al Quran mewajibkan perlakuan adil kepada siapapun bahkan musuh sekalipun. Ajaran Islam yang sungguh agung itu kini kerap dilupakan oleh pengikutnya, apalagi yang sudah terikat kepentingan politik tertentu.
…Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa… (Q.S. Al Maidah : 8)
Baiklah, intinya marilah kita membuka sudut pandang seluas-luasnya dan berhenti melakukan generalisasi. Tidak ada yang lebih sesat dari generalisasi serampangan. Ada orang Tionghoa yang buruk, ada juga yang baik. Ada orang Arab yang jahat, ada pula yang baik. Begitu pula pribumi dan semua kelompok lainnnya. Ketika ada seseorang melakukan kejahatan, bukanlah kelompok darimana orang itu berasal yang harus kita musuhi, melainkan perbuatan buruk orang tersebut. Umat Muslim di seluruh dunia enggan diidentikan dengan tindakan barbar segelintir teroris, maka jangan pula kita mengidentikan suatu kaum berdasarkan tindakan segelintir anggotanya.
Tuh kan jadi malah melantur ke mana-mana. “Khutbah” di atas kurasa cukup untuk menjadi pengantar kisah “Geger Pacinan di Batavia” yang akan kuulas berikut. Kisah ini kuangkat kembali karena ada segelintir orang yang lagi-lagi dengan pikiran sempitnya berusaha mengangkat kisah tersebut untuk menyerang tokoh atau kelompok tertentu. Entah karena malas membaca atau memang wawasan sejarahnya yang kurang, mereka menginterpretasikan peristiwa pembantaian manusia yang menjadi catatan sejarah memalukan di Batavia ini seenake udel-nya saja. Tanpa berpanjang lebar, berikut adalah kisah Geger Pacinan sebagaimana disarikan dari buku “Hikayat Jakarta” karya Willard A. Hanna (Yayasa Obor Indonesia – 1988). Semoga kita bisa mengambil hikmah darinya.

Tidak perlu lagi disebutkan riwayat hubungan dagang yang terjadi selama ratusan tahun antara kerajaan-kerajaan pribumi dengan negeri Cina sebelum kedatangan bangsa Eropa. Hubungan dagang antar kerajaan asia tersebut berjalan dengan harmonis, tidak seperti Eropa yang cenderung ingin menguasai (dengan segala cara). Untuk menegaskan pengaruhnya sebagai penguasa utama perdagangan, Belanda perlu melemahkan kerajaan-kerajaan pribumi serta seluruh pesaingnya. Karena kekuatan yang terbatas, maka Belanda menerapkan konsep divide et impera yang terbukti efektif. Tindakan Belanda dalam memenangi persaingan dagang, digambarkan dalam suatu kisah berikut :
Suatu kali, misalnya, seorang berkebangsaan Cina menggali terowongan di bawah gudang Inggris untuk meledakannya dan membakarnya, kemudian merampok barang-barang di dalam gudang itu. Usaha ini, yang juga melibatkan orang-orang Belanda, akhirnya gagal, bukan karena kurang seriusnya para pelaku atau berkat kesiagaan korban, melainkan karena sial belaka.
Setelah kedudukannya semakin mantap, Belanda membentuk pelabuhan Sunda Kelapa yang direbutnya dari Banten menjadi sebuah pusat perdagangan terpenting di Asia Tenggara. Perkembangan itu menarik kedatangan ribuan pendatang baru dari Eropa, Cina, dan daerah lain di Nusantara. Pelabuhan yang kemudian dinamai Batavia itu dengan cepat diisi oleh jenis masyarakat baru yang disebut Homo Bataviensis alias orang Betawi.
Orang Batavia asli umumnya bukanlah pribumi, melainkan orang asing berdarah campuran atau berkebudayaan campuran pula.
Belanda selaku penguasa Batavia menerapkan kebijakan rasialis. Orang Eropa menempati posisi teratas, bangsa asing di bawahnya, dan pribumi di tingkat terbawah. Dengan itu rusaklah tatanan masyarakat sebelumnya yang tidak memiliki batasan “kasta”. Salah satu dasar perlakuan diskrimasi tersebut, seperti diakui Gub. Jenderal J.P. Coen adalah karena :
“Tidak ada tenaga yang lebih cocok untuk tujuan kita atau yang dapat dikerahkan dengan  sama mudahnya, selain orang-orang Cina”
Diterangkannya bahwa berlawanan dengan orang pribumi yang berwatak malas, tak mudah diatur dan tak dapat dipercaya, Orang Cina, sebaliknya, rajin, tidak kenal lelah, sangat terampil dan berdisiplin kuat.  Orang-orang Cina tentu saja tidak memiliki banyak pilihan kecuali mengikuti pengkondisian yang diberlakukan kompeni. Namun yang pasti, untuk mencapai visinya membangun Batavia sebagai pusat ekonomi terpenting, Coen mendatangkan ribuan orang Cina untuk diberdayakan.


Mula-mula sekali, kapten-kapten kapal Belanda menculik petani-petani dan nelayan-nelayan Cina di Pantai Cina untuk dibawa ke Jakarta untuk dilelang sebagai kuli kontrak, tetapi tindakan ini segera terbukti tidak perlu dilakukan. Adalah saudagar-saudagar Cina sendiri yang membawa kuli dari Canton dan Amoy untuk dipekerjakan sebagai budak di Batavia. Setelah beberapa tahun, budak-budak itu biasanya telah memiliki usaha sendiri, tak sedikit yang menjadi kaya raya. Karena jumlah wanita dari bangsanya yang masih sangat sedikit, sering terjadi perkawinan antara pendatang dengan pribumi, menghasilkan masyarakat berdarah campuran atau indo.
Singkat cerita jumlah penduduk Cina di Batavia meningkat dengan sangat pesat, membanjiri Batavia hingga ke pinggiran kota. Pada awal abad-18 penduduk Cina kurang lebih telah mencapai jumlah 80.000 orang, kebanyakan bekerja di perkebunan, pabrik-pabrik atau berdagang. Sebagian kecil lain melakukan kejahatan-kejahatan kecil atau kadang mengadakan kekacauan. Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier lantas memutuskan untuk menangkap secara besar-besaran dan mengekspor kelebihan buruh orang Cina ke Ceylon (Srilanka). Kebijakan itu ternyata membawa resiko karena dijalankan secara serampangan dan tak mengenal perikemanusiaan.
Ratusan, barangkali ribuan, orang Cina ditangkap dan dideportasi. Beredar kabar bahwa yang ditangkap bukan hanya orang jahat melainkan mereka juga yang baik-baik… Mereka diangkut dengan kapal dari Batavia, konon kabarnya, mungkin dilempar ke laut jauh sebelum mereka mencapai Ceylon.
Marah mendengar kabar itu, gerombolan-gerombolan orang Cina di pinggiran kota melengkapi dirinya dengan senjata-senjata yang dirampas dari penjaga Belanda, berencana menyerang kota. Pada akhir bulan September 1740, keadaan menjadi genting. Gub. Jenderal Valckenier memanggil Majelis Hindia Belanda untuk mengadakan rapat darurat. Diputuskanlah anggota majelis Van Imhoff dan Van Aarden untuk merencanakan dan mengambil tindakan seperlunya.
Pada awal bulan oktober, gerombolan-gerombolan Cina menyerang dan menguasai kekuatan Belanda di Meester Cornelis dan Tanah Abang, dan pada suatu ketika membinasakan 50 serdadu Eropa. Mencegah kekacauan lebih lanjut, Van Imhoff mengerahkan 1.800 orang pasukan yang dipersenjatai untuk melakukan pembersihan. Pada tanggal 8 Oktober, pasukan Belanda memukul mundur serangan balasan Cina yang kuat di pinggir kota. Keesokan harinya, kerusuhan besar terjadi di pemukiman orang-orang Cina : pembakaran gedung-gedung, kerusuhan, para serdadu menembak ke arah khalayak ramai. Dan terjadilah kepanikan.
…Tiba-tiba secara tidak terduga seketika itu terdengar jeritan ketakutan bergema di seluruh kota, dan terjadilan pemandangan kebiadaban yang paling memilukan dan perampokan di segala sudut kota. Semua orang Cina, tanpa perkecualian, pria, wanita dan anak-anak diserang. Baik kaum wanita yang sedang hamil maupun bayi yang sedang menyusui tidak luput dari pembantaian yang tidak mengenal perikemanusiaan. Para tahanan yang dibelenggu, yang berjumlah ratusan orang itu, disembelih layaknya domba. Beberapa orang Cina kaya, lari mencari perlindungan pada penduduk bangsa Eropa, yang tidak menghiraukan segala prinsip kemanusiaan dan moral, menyerahkannya kepada pemburu-pemburunya yang haus darah, lalu menyelewengkan harta milik yang dipercayakan kepada mereka. Pendeknya, semua orang Cina, baik bersalah atau tidak, dibantai.
Menurut laporan kontemporer, 10.000 orang Cina, termasuk 500 orang tahanan dan pasien rumah sakit telah dibunuh, 500 orang lagi terluka parah, 700 rumah dirusak, dan sejumlah besar barang berharga hilang atau rusak. Orang-orang Eropa, baik militer maupun sipil, sama-sama bersalah melakukan perampokan dan pembunuhan dengan pasukan-pasukan pribumi yang dianggap lebih haus darah dan perampok itu.
Orang-orang Belanda yang berada di dalam kota Batavia, di antaranya para anggota Majelis Hindia Belanda, terkejut atas apa yang terjadi dan menetapkan satu hari masa berkabung yang ditujukan untuk penebusan dosa dan kebaktian agama. Orang-orang dengan seketika melemparkan kesalahan. Anggota dewan dan Gubernur Jenderal saling menuduh yang berujung pada pengunduran diri Valckenier dari posisinya sebagai Gubernur Jenderal. Para Heeren XVII (Direktur VOC) di Belanda yang telah menyelidiki laporan lantas memutuskan untuk menahan Valckenier di kastil Batavia.

Proses itu berlangsung selama 10 tahun lamanya. Valckenier mengajukan dokumen-dokumen pembelaan dirinya yang sedemikian tebalnya, sehingga tidak ada orang yang sanggup mempelajarinya.
Akhirnya, setelah Valckenier meninggal tanggal 20 Juni 1751, pemeriksaan-pemeriksaan resmi ditangguhkan. Akan tetapi, selama bertahun-tahun persoalan Valckenier tetap menjadi kasus Batavia yang termahsyur. Belanda tentu saja tidak ingin kasus itu berkembang ke arah yang lebih membahayakan. Bagaimanapun, Mereka tetap membutuhkan orang Cina sebagai penggerak ekonomi di Batavia. Dalam satu periode setelah kejadian, jumlah penduduk Cina di Batavia melebihi jumlah sebelumnya.
Pembunuhan masal orang-orang Cina di Batavia memicu pemberontakan orang Cina di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang pada gilirannya mengakibatkan kekacauan yang meluas di mana-mana termasuk di dalam kerajaan Mataram.
Banyak orang Tionghoa pelarian dari Batavia berkumpul dan menghimpun kekuatan melawan belanda. Seluruh pantai Jawa, dari Batavia sampai Pasuruan memanas. Pusat revolusi berkembang di Semarang. Berkat kecakapan Tai Wan Sui, pemimpin Tionghoa, maka Bupati-Bupati pesisir menggabungkan diri dengan laskar Tionghoa. Sunan Mataram, yang merasa terancam oleh keadaan itu berbalik mendukung VOC untuk memberantas pemberontakan. Pemberontakan berhasil dipadamkan, namun sebagai gantinya, keraton Mataram juga ikut runtuh. Politik divide et impera Belanda lagi-lagi berhasil.
Peristiwa persatuan para pemberontak Tionghoa dan Pribumi dalam melawan Belanda itu beberapa waktu lalu diabadikan  dalam sebuah monumen “kontroversial” yang berlokasi di Taman Budaya Tionghoa Indonesia, TMII Jakarta. Oleh sebagian orang-orang yang gemar menyesatkan sejarah, monumen tersebut diidentikan dengan laskar tionghoa Po An Tui yang baru eksis dua ratus tahun setelah peristiwa pemberontakan laskar Tionghoa dan Jawa guna melawan Belanda. Aku percaya penyesatan sejarah itu dilakukan bukan tanpa alasan, kecuali menimbulkan perpecahan. Strategi kompeni kembali diterapkan…

Demikian kisah singkat peristiwa Geger Pacinan yang menjadi noda buruk dalam sejarah kolonialisme di Indonesia. Suatu peristiwa yang memalukan bagi Belanda sehingga episode tersebut tidak banyak diekspose dalam buku-buku sejarah bangsa mereka.
Adalah suatu hal yang aneh akhir-akhir ini, ketika seseorang terkemuka di negeri ini mengangkat kisah itu untuk menekan kelompok minoritas yang menjadi “korban” dalam peristiwa tersebut. Ya, hanya korban yang harus mengambil hikmahnya, bukan para pelakunya yang tercatat dalam sejarah sebagai pembantai tak berperikemanusiaan. Seakan-akan menjustifikasi tindakan barbar yang dilakukan Belanda dan antek-anteknya hanya karena kepentingan politik sesaat saja. Penyebab kejadian tersebut, bagaimanapun adalah kebijakan kolonialisme Belanda, sedangkan lainnya hanyalah ekses. Bagaimana mungkin seseorang yang mengaku nasionalis sejati bisa mendukung kebijakan kolonialisme Belanda ?  Silakan cari jawabannya sendiri. Aku hanya bisa berharap agar masyarakat Indonesia bisa belajar dari sejarah, dan berhenti menggadaikan persatuan bangsa yang telah dibentuk dari proses ratusan tahun demi kepentingan politik sesaat. Jadilah orang-orang yang berfikir…


Senin, 10 April 2017

GERAKAN MAHASISWA MENJADI GERAKAN AKADEMIK



P

P  PENDAHULUAN

Lembaga kemahasiswaan adalah salah satu wadah dimana beberapa fungsi mahasiswa bisa diaplikasikan dalam pengabdian baik dalam internal maupun eksternal kampus. Sebagai “kawah candra dimukanya mahasiswa, kampus merupakan basis sekaligus sumber potensi intelektual muda yang nantinya akan menentukan kemana arah bangsa ini.
Mahasiswa merupakan aset bangsa yang perlu dibina dan dikembangkan. Sebagai generasi muda, kelangsungan suatu bangsa untuk masa yang akan datang sangat tergantung kepada mahasiswa yang ada saat ini. Oleh karena itu, mahasiswa perlu dibekali dengan berbagai keahlian seperti keahlian dalam bidang Organisasi, Manajemen dan Kepemipinan (Leadership).
Pemuda Indonesia khususnya mahasiswa Indonesia harus dibekali dengan kemampuan hard skill dan soft skill. Melihat kondisi ini, perlu rasanya diangkat suatu kegiatan yang bisa menjawab permasalahan tersebut. Kegiatan berupa Latihan Dasar Kepemimpinan Mahasiswa ini merupakan salah satu langkah untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam memanejemen sebuah lembaga dalam menyongsong dan mempersiapkan perubahan masa depan yang lebih baik.
Mahasiswa sebagai Agent of Changes merupakan  pioner dan tonggak dari sebuah perubahan. Mahasiswa diharapkan mampu menjadi penerus bangsa yang merubah wajah dunia nantinya. Mahasiswa adalah kaum intelektual yang mampu berpikir kritis terhadap segala permasalahan-permasalahan yang tengah ada. Mahasiswa juga berkaitan erat dengan organisasi dan keterampilan.  Untuk itu diperlukan suatu kegiatan yang dapat melatih dan membimbing mahasiswa  menjadi pemimpin-pemimpin yang hebat. Salah satunya melalui Latihan Dasar Kepemimpinan yang merupakan agenda dari Berangkat dari hal tersebut, Mahasiswa mengadakan Latihan Dasar Kepemimpinan Mahasiswa (LDKM) Mahasiswa tahun 2014 guna mempersiapkan jebolan intelektualitas muda yang matang akan jiwa kepemimpinannya dalam mengelolah organisasi maupun lembaga kemahasiswaan serta mampu mencipitakan perbedaan karakter kepemimpinan yang tidak menoton demi progresifitas dan perbaikan tatanan sosial untuk mewujudkan nilai-nilai integritas dalam kehidupan kampus yang demokratis.
  •  DASAR KEGIATAN
1.      UUD 1945 Tentang Kebebasan Berpendapat dan Berorganisasi
2.      TRI DARMA PERGURUAN TINGGI
3.      Instruksi Pimpinan
  •     NAMA KEGIATAN
Nama kegiatan ini adalah Pelatihan Dasar Kepimimpinan Mahasiswa (LDKM) Tahun 2015.
  •  TEMA KEGIATAN
“Pengembangan Etika Kepemimpinan Mahasiswa yang Kreatif dan Dinamis”
  • PENYELENGGARA
 merupakan wujud dari komitmen mengembangkan kreativitas dan potensi mahasiswa baik itu mahasiwa/i program studi Ilmu Pemerintahan maupun Program Studi Hubungan Internasional.
  •  PESERTA
Peserta Pelatihan Dasar Kepemimpinan adalah Mahasiwa/i dengan persyaratan sebagai berikut :
1.      Mahasiwa Semester I (satu), II (dua), III (tiga),
2.      Mahasiswa aktif secara Administrasi maupun Akademik
3.      Menyerahkan Karya Ilmiah jenis Artikel Ilmiah.
4.      Melunasi Iuran yang telah ditetapkan bersama sebesar Rp. 250.000,-
5.      Menyerahkan biodata peserta
  • TUJUAN KEGIATAN.
Hasil yang ingin dicapai dalam penyelenggaraan pelatihan dasar kepemimpinan bagi Mahasiwa/i
1.      Meningkatkan dan memantapkan mutu kepemimpinan.
2.      Meningkatkan kemampuan berorganisasi dan kesadaran politik sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab.
3.  Meningkatkan dan mengembangkan serta memperluas wawasan dalam melaksanakan tugas-tugas kepemimpinan.
4.      Memberikan kesempatan belajar bagi peserta didik.
5.      Mendorong, membimbing serta mengarahkan potensi kepemimpinan.
6.      Menumbuhkan, meningkatkan dan memantapkan kesadaran dan tanggung jawab sebagai warga negara khususnya generasi muda penerus perjuangan bangsa.
7.   Memberikan tuntunan dan meningkatkan pola pikir, sikap dan perilaku, kepribadian, budi pekerti, sopan santun dan disiplin.

  •   BENTUK KEGIATAN
Latihan Dasar Kepemimpinan Mahasiswa (LDKM) Mahasiwa/i merupakan teori dan praktek yang dilaksanakan dalam bentuk kegiatan diruangan maupun dilapangan.
  • WAKTU DAN TEMPAT PELAKSANAAN
Kegiatan LDKM ini akan dilaksanakan pada :
Hari / Tanggal             : Senin-Selasa / 19 - 20 - 2015
Tempat                        : Villa Puncak Bogor
I.       SUSUNAN ACARA
Hari Pertama
06.30 – 07.30 Wib
Persiapan Keberangkkatan
08.00 – 11.00 Wib
Berangkat Menuju
b)      Doa
Villa
Penanggung Jawab
Khaidir Ali Panjaitan
11.00 – 12.00 Wib
Cek in Villa
12.00 – 13.00 Wib
ISHOMA
13.00 – 13.15 Wib
Breafing Acara Oleh Panita
13.45 – 15.15 Wib
Pemateri Pertama Oleh NURHADI
15.15 – 15.30 Wib
Istrahat
18.00 – 19.00 Wib
ISHOMA
19.00 – 22.00 Wib
a)      Malam Keakraban
b)      Games
c)      Pengenalan Organisasi Kampus Oleh Mahasiswa Semester VI dan VII
22.00. 05.30 Wib
Istrahat
Hari Kedua
05.30 – 06.30 Wib
Bangun Tidur dan Sarapan Pagi
06.30 – 07.00 Wib
Breafing Acara oleh Panitia
10.00 – 10.15 Wib
Pengumunan Lomba Karya Ilmiah dan Penyerahan Hadiah
10.15 – 11.00 Wib
ISHOMA
11.00 – 12.00 Wib
Persiapan Kembali Ke Campus
12.00 – 16.00 Wib
Perjalanan Pulang
16.00 -16.15 Wib
Penutupan Kegiatan

  •  RINCIAN ANGGARAN
Anggaran dana yang dibutuhkan adalah Rp. 13. 205.000,00
Terbilang ” Tiga Belas Juta Dua Ratus Lima Ribu Rupiah ”
Anggaran Dana
1.      Dana yang dibutuhkan           Rp. 13.205.000,00
2.      Dana yang terkumpul             Rp. 12.500.000,00
3.      Kekurangan dana                   Rp.       705.000,00

*)   Kekurangan dana diharapkan dapat terpenuhi dari kampus
*)   Instansi Pemerintahan
*)   Para Dermawan yang tidak terkait

  • SUSUNAN PANITIA
Terlampir

  • PENUTUP
Demikian kegiatan ini kami susun sebagai acuan dalam pelaksanaan kegiatan Latihan Dasar Kepemimpinan Mahasiswa (LDKM) Semoga kegiatan  ini dapat menjadi kontribusi positif bagi kita dan semoga Allah SWT merestui langkah-langkah kita dalam mengabdikan diri untuk Bangsa dan Negara. Amin