Panduan & Sistematika Penulisan Tugas Akhir ( TA )
tulis pertanyaan dan jelaskan disetiap jawaban tersebut
Kamis, 13 April 2017
11.4A.25 tugas take home
Panduan & Sistematika Penulisan Tugas Akhir ( TA )
soal dan jawaban dan jelaskan
soal dan jawaban dan jelaskan
Dr. Snouck adalah manusia dasa muka, seorang sarjana dan mata-mata
Adalah tepat rasanya Firman Allah yang menyatakan
bahwa seorang munafik lebih berbayaha dibandingkan orang kafir. Kenyataan
sejarah menunjukan bahwa kehancuran Islam di Indonesia tidak dilakukan oleh
orang-orang kafir, melainkan oleh mereka yang “menyerang dari dalam”
alias para munafiqun.
Sepanjang berabad-abad perjalanan sejarah bangsa ini
kiranya sudah cukup untuk membuktikan hal tersebut. Serangan bangsa-bangsa
barat ke kerajaan-kerajaan Islam di nusantara terbukti tidak berhasil
menghancurkan keimanan umat Islam melainkan sebaliknya, menguatkan semangat
keislaman mereka. Para penjajah mengetahui hal ini dan mereka akhirnya
melupakan niatan untuk menghilangkan keimanan umat Islam, mereka tidak punya
kekuatan untuk itu. Pilihan akhirnya adalah menguasai umat Islam tanpa perlu
mengubah keimanan mereka. Bagaimana melakukannya ? Cukup kuasai orang-orang
yang keimanannya paling rendah di antara mereka dan jadikan mereka penguasa. Tindakan
ini tentunya akan mendapatkan perlawanan dari kalangan konservatif, oleh karena
itu perlu dilakukan tindakan lain untuk melemahkan kalangan konservatif ini.
Bagaimana caranya ? hancurkan dari dalam. Devide et Impera. Belanda benar-benar
mengetahui titik kelemahan umat Islam di Indonesia yang kekuatannya bagaikan
istana pasir. Berikan sedikit bumbu perpecahan, dan mereka akan segera terpecah
belah.
Strategi tersebut tidak lahir begitu saja melainkan
lewat pengalaman berdarah-darah yang dialami Belanda dalam usahanya menguasai
Nusantara. Adalah berkat jasa seorang Dr. Snouck Hurgronje, upaya
melemahkan perlawanan umat Islam bisa berhasil dilakukan dengan sangat licin.
Sebagian episode praktik Snouck dapat dilihat dalam buku “Perang Gayo Alas
Melawan Kolonialisasi Belanda” (Balai Pustaka, 1983). Buku karangan M.H.
Gayo ini membahas secara khusus peranan Dr. Snouck dalam perang Gayo di awal
abad-20. Sang penulis mengakui kalau Snouck lewat pemikiran-pemikiran liciknya
memiliki andil banyak dalam menghancurkan perlawanan rakyat Gayo terhadap
penjajah. Berikut adalah ringkasan kisahnya.
Perang melawan kolonialis Belanda di Tanah Gayo dan
Alas 1903, adalah bagian dari perang Aceh 1873. Beberapa tahun sebelum dan
selama perang Gayo dan Alas berlangsung, yang menjadi Gubernur Militer Belanda
di Aceh adalah Jenderal Van Heutsz. Ia diangkat menempati posisi tersebut pada
tanggal 10 Mei 1898.
Selama Van Heutsz berkuasa di Aceh, perang Aceh
memasuki periode banjir darah yang yak habis-habisnya. Politik tangan besi
dijalankan. Tidak ada damai dengan pejuang-pejuang terutama dengan para alim
ulama Aceh. Pengejaran terus-menerus terhadap pejuang-pejuang Aceh tak
henti-hentinya. Penghancuran demi penghancuran dilancarkan. Jendera Van Heutsz
di mata rakyat Aceh Gayo dan Alas adalah seorang jenderal yang bengis.
Dalam melaksanakan politik tangan besinya itu, Van
Heutsz mendapat seorang penasihat ulung, seorang kawan lamanya, yaitu Dr. C.
Snouck Hurgronje, seorang ahli tentang Islam, Aceh, dan tentang Gayo, atau
dalam bahasa Belanda Islam kenner, Atjeh kenner, dan Gajo kenner. Dr. Snouck
langsung diangkatnya menjadi penasihat politiknya, segera setelah dia diangkat
menjadi Gubernur Militer Aceh.
Kedua-duanya adalah kawan lama, sejak masih
duduk di bangku sekolah di Breda, Belanda. Snouck sekolah HBS sedangkan Van
Heutsz dalam kursus militer. Kemudian bertemu lagi di Den Haag, Snouck sebagai
guru dan Van Heutsz sekolah di sekolah tinggi militer. Selanjutnya bertemu lagi
di Indonesia, Van Heutsz sebagai komandan batalyon di Meester Cornelis
(Jatinegara), sedang Snouck sebagai penasihat Pemerintah Hindia Belanda.
Akhirnya kedua-duanya bertemu dalam satu lapangan di
medan perang Aceh. Yang satu sebagai Gubernur Militer sedangkan satunya lagi
sebagai penasihat politik, yang memasak, mengolah, mengatur siasat, dan memberi
perintah untuk menghancurkan Aceh, Gayo, dan Alas. Bagi Van Heutsz, Dr. Snouck
seorang yang berjasa baginya, karena dia telah mengusukannya menjadi Gubernur
Militer Aceh.
Snouck sendiri lahir pada tanggal 8 Februari 1857 di
Costerhout Nederland, yang berasal dari keturunan Yahudi. Setelah selesai
sekolah HBS, dia melanjutkan pelajarannya di Sekolah Tinggi Leiden, mempelajari
jurusan teologi, sastra Arab, dan agama Islam. Pada tahun 1880 dia mendapat
promosi doktor dengan proefshrift-nya “Het Mekkaansche Feest” hingga dia
dianggap sebagai ahli tentang Islam.
Sejak di perguruan tinggi, dia telah memperhatikan
perang Aceh, dan telah melihat kekeliruan politik Aceh yang dilaksanakan
pemerintah Belanda, hingga Aceh belum dapat dikalahkan. Karena itu dia memperdalam
pengetahuan mengenai Islam dan Aceh secara lebih mendalam.
Untuk itu Snouck pergi ke Mekah untuk mempelajari
Islam di sana. Selama perang Aceh berlangsung antara 1884 sampai 1885, setelah
perang Aceh berlangsung selama 11 tahun, dengan segala akal busuknya Snouck
menyelundup ke kota suci Mekah dengan menggunakan nama palsu “Abdul Gaffar”. Ia
berhasil masuk dan bermukim di sana dengan segala tipu dayanya.
Selama Snouck alias Abdul Gaffar tinggal di Makkah, ia
berkesempatan untuk bertemu jemaah haji Indonesia yang naik haji di musim haji
ke Mekah. Dia berhasil mendapat keterangan-keterangan penting, mengenai situasi
perang Aceh dari jemaah haji Aceh sendiri. Tidak ada yang curiga kepadanya
karena penampilan begitu meyakinkan.
Selain itu Snouck telah bertemu pula di kota Mekah
dengan seorang pengkhianat Aceh yaitu “Habib Abdurrahman”, Habib Abdurrahman
adalah seorang keturunan Arab yang mendapat kepercayaan dari Sultan Aceh ketika
dia masih berada di Aceh. Karena ketika perang Aceh, Sultan Muhammad Daud masih
muda, maka kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan sementara dipercayakan
kepada kepadanya sebagai Mangkubumi, bersama Panglima Polim dan Malikul Adil.
Tetapi ternyata kemudian bahwa Habib Abdurrahman telah menyalahgunakan
kepercayaan yang diberikan kepadanya. Dia berkhianat kepada Aceh.
Pada tanggal 25 Agustus 1878, dia menulis surat kepada
komando Militer Belanda di Lambaro tentang keinginannya untuk menyerah kepada
Belanda. Van Lamberge dan Van der Heijden menyetujui penyerahan Habib ini.
Habib selanjutnya meminta syarat supaya dia dengan 400 orang famili dan
pengikutnya diberangkatkan ke Mekah dengan kapal perang Belanda . Belanda
kemudian menyetujui dan memberangkatkan dirinya beserta 20 pengikutnya ke
Mekah. Sebelum berangkat dia sempat mengirim surat kepada pemimpin Aceh untuk
menyerah kepada Belanda. Tetapi ajakan itu tidak mendapat sambutan melainkan
Habib Abdurrahman dicap sebagai “pengkhianat”. Di Mekkah Habib Abdurrahman
banyak memberikan informasi berharga seputar Aceh kepada Snouck.
Setelah setahun Snouck berada di Mekah, kedoknya
terbuka, berhubung dengan berita-berita pers di dunia barat, bahwa Abdul Gaffar
bukanlah untuk belajar Agama Islam di Mekah, melainkan seorang Spion. Karena
itu dengan tergesa-gesa Abdul Gaffar keluar dan meninggalkan kota suci Mekah.
Sejak itu Snouck pindah ke Aceh.
Pada tahun 1891 Snouck diangkat menjadi Penasihat
Bahasa Timur dan Hukum Islam dari Pemerintah Hindia Belanda. Kesempatan itu
digunakannya untuk mempelajari Aceh dari segala sisinya. Ia berhasil membuat laporan
penting berjudul “Laporan sekitar situasi agama dan politik di Aceh”. Setelah
itu Snouck juga membuat laporan tentang Tanah Gayo yang berjudul “Tanah Gayo
dan penduduknya”.
Untuk mendapatkan keterangan-keterangan mengenai Gayo
tersebut, Snouck banyak mendapatkan informasi dari ekspedisi pasukan Belanda.
Ekspedisi pertama dilakukan Van Daalen yang ketika itu masih berpangkat Mayor.
Sedangkan ekspedisi kedua dilancarkan Kapten JHL. Scheniders tahun 1902.
Ekspedisi ketiga dipimpin Kapten Van der Maaten. Keempat oleh Letnan Scheepens.
Dan terakhir oleh Kapten Colijn. Akhirnya pada tahun 1903 Snouck berhasil
menerbitkan buku mengenai tanah Gayo tersebut.
Hasil-hasil penelitian Snouck digunakan Gubernur
Militer Aceh, Van Heutzs untuk melakukan penyerangan terhadap Aceh dan Gayo
yang dilakukan korps Marsose di bawah pimpinan Van Daalen tahun 1904. Sebelum
itu Snouck telah sering mengkritik kebijakan militer Belanda di Aceh yang
dianggapnya tidak efektif. Dia menganggap strategi mengurung diri dalam garis
konsentrasi sebagai suatu kesalahan besar.
Tindakan ini sama asrtinya dengan membuat
serdadu-serdadu seperti monyet yang diikat kakinya dalam kurungan, yang kalau
dipukul tidak bisa melakukan pengejaran terhadap pemukulnya.
Politik berdamai dan mencari hubungan dengan Sultan
juga dianggap tidak berguna karena di Aceh alim ulamalah yang memegang kendali
semangat perjuangan rakyat Aceh. Karena itu tidak ada damai dengan kaum aliran
ulama. Kepada mereka hanya pelor yang harus bicara.
Politik tangan besi yang diajukan Snouck baru mendapat
tanggapan ketika Van Heutzs menjabat Gubernur Militer. Keduanya memiliki
pendirian yang bersamaan menghadapi perang Aceh. Di sisi lain, Snouck juga
melakukan politik adu domba antara raja dengan alim ulama, serta
memutarbalikkan ajaran agama Islam berkat keahliannya dalam Islam. Snouck kerap
keluar masuk daerah Gayo dengan menggunakan nama samaran “Haji Putih” atau “Habib
Putih”.
Berkat keahliannya berbahasa Arab dan mengaji Qur’an,
dia mendapat sambutan rakyat dan alim ulama di Tanah Gayo. Kesempatan ini
digunakannya untuk mengorek rahasia kekuatan semangat perjuangan rakyat Gayo,
sambil mengadu domba antara raja-raja dengan para alim ulama, antara ulama
dengan ulama, memutarbalikkan ajaran-ajaran agama, memperbesar perbedaan mazhab
dan sebagainya. Membesar-besarkan kekuatan Belanda agar moril masyarakat jatuh…
Tetapi suatu ketika kedoknya terbuka ketika sedang
mengadakan pengajian di langgar-langgar. Para pejuang Gayo yang hendak
menangkapnya gagal karena ia keburu melarikan diri keluar tanah Gayo.
Demikianlah peranan Dr. Snouck yang dikenal sebagai
ahli tentang Islam, ahli Aceh dan ahli Gayo itu telah mempergunakan keahliannya
untuk menghancurkan Islam, Aceh, Gayo, dan Alas. Ia mendorong Van Heutzs untuk
menggunakan strategi tangan besi. Pejuang-pejuang Aceh harus dikejar terus
menerus, dan dihancurkan tanpa belas kasih. Ketika van Daalen menyerang tanah
Gayo dan Alas tahun 1904, ia meninggalkan pembantaian yang luar biasa.
Pada hakikatnya tiga tokoh perang Dr. Snouck, Van
Heutzs, dan Van Daalen adalah tiga sekawan yang telah membawa kemenangan bagi
Belanda dalam perang Gayo-Alas. Dr. Snouck sebagai otaknya, Van Heutzs sebagai
komando perang dan Van Daalen sebagai algojo pelaksana penyerbuan dan
pembantaian.
Peranan Dr. Snouck telah muncul dalam dasa muka yang
beraneka ragam, dalam perang Aceh, Gayo, dan Alas, Dr. Snouck bukan saja sebagai
seorang sarjana yang telah bekerja untuk kepentingan ilmu pengetahuan, tetapi
juga telah muncul sebagai penyelidik, pelapor, pengadu domba, sebagai spion,
sebagai mata-mata. Sarjana Dr. Snouck telah mempergunakan ilmu pengetahuan
Islamnya untuk menghancurkan rakyat Gayo-Alas dan lawan-lawannya untuk
menjajah, dan menguasai tanah dan rakyatnya.
Dari sedikit kisah di atas pada dasarnya kita bisa
mahfum bahwa bukan kekerasan lah yang bisa menghancurkan umat Islam melainkan
tipu daya. Tiga setengah abad penguasaan Belanda atas Nusantara tidak berhasil
“mengkristenkan” umat Islam tapi mereka berhasil menguasai Umat Islam sehingga
tidak mampu melakukan perlawanan. Bagaimana caranya adalah seperti yang
dilakukan Snouck di Aceh : Mengadu domba antara penguasa dengan alim ulama,
antara ulama dengan ulama, memutarbalikkan ajaran-ajaran agama, memperbesar
perbedaan mazhab dan sebagainya.
Apakah kini umat Islam di Indonesia masih lemah ? Itu
mungkin karena musuh masih menggunakan strategi Snouck di atas. Mereka berusaha
menjauhkan umat Islam dari pemimpinnya, membesar-besarkan perbedaan dan
membajak ajaran agama Islam. Apa yang bisa kita pelajari dari kasus Snouck ini
adalah bahwasannya tokoh pengadu domba itu tampil dalam balutan “sorban dan
kesalehan”. Itulah sebabnya Quran memperingati bahayanya kaum Munafiqun karena
kerusakan yang dihasilkan sangat luar biasa. Mereka yang ingin menghancurkan
umat Islam di Indonesia tidak akan memakai “jubah” Komunis atau Sekuler. Mereka
mungkin mengenakan sorban, baju gamis, janggut panjang, atau dahi yang hitam.
Merekalah yang setiap saat menyuarakan perpecahan, kebencian terhadap pemimpin
atau perbedaan di antara umat. Belajarlah dari sejarah… Mungkin orang-orang
seperti ini berada di tengah-tengah kita, dan kita tidak sengaja telah menjadi
korban darinya.
Rabu, 12 April 2017
Geger Batavia
“Tidak ada tenaga yang lebih cocok untuk tujuan kita
atau yang dapat dikerahkan dengan sama mudahnya, selain orang-orang Cina”
-Jan Pieterszoon Coen-
“Kenapa sih Mbak Santi sering sekali mengulas tentang
Tionghoa? ” temanku bertanya. Aku tidak akan memberikan jawaban yang
muluk-muluk untuk itu. Bagiku membahas tema Tionghoa begitu menarik selain
karena keunikan budayanya, juga karena perkembangan politik akhir-akhir yang
menurutku menjurus kepada situasi berbahaya. Bagi segelintir politisi yang
tidak bertanggung jawab, mengumbar isu SARA, khususnya yang berhubungan dengan
minoritas, memang kerap dianggap sebagai cara jitu untuk membakar emosi publik
yang kurang cerdas. Sejarah membuktikan itu. Apabila kita menarik benang
merah dari tindakan pembantaian yang dilakukan tokoh-tokoh seperti Hitler
terhadap orang Yahudi, Radovan Karadžić terhadap muslim di Bosnia,
Pemerintah Ottoman terhadap orang Armenia dan lainnya, bisa disimpulkan bahwa
kebijakan tersebut seringkali disebabkan oleh sentimen mayoritas terhadap
minoritas yang tidak bisa didasarkan atas kemanusiaan dan ajaran agama apapun.
Kini jangankan di Indonesia, bahkan di Amerika Serikatpun, yang usia
demokrasinya sudah sangat dewasa, seorang Donald Trump yang mengusung isu “anti
asing” bisa begitu populer. Hal itu menunjukan bahwa ternyata masih banyak
warga Amerika yang berfikiran sempit.
Khusus bagiku adalah hal yang sangat aneh ketika
melihat seorang warga Indonesia apalagi Muslim mengusung sentimen SARA. Ajaran
Quran yang mana yang menyebutkan suatu suku atau ras diciptakan lebih lebih
tinggi atau rendah dibanding lainnya. Malah menurutku seseorang yang mengangkat
isu SARA tidak lain telah mengecilkan kekuasaan Tuhan dengan menganggap berkah
Tuhan hanya diberikan untuk kaum atau kelompoknya saja. Bukankah Al Quran
mewajibkan perlakuan adil kepada siapapun bahkan musuh sekalipun. Ajaran Islam
yang sungguh agung itu kini kerap dilupakan oleh pengikutnya, apalagi yang
sudah terikat kepentingan politik tertentu.
…Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena (adil) itu
lebih dekat kepada takwa… (Q.S. Al Maidah : 8)
Baiklah, intinya marilah kita membuka sudut pandang
seluas-luasnya dan berhenti melakukan generalisasi. Tidak ada yang lebih sesat
dari generalisasi serampangan. Ada orang Tionghoa yang buruk, ada juga yang
baik. Ada orang Arab yang jahat, ada pula yang baik. Begitu pula pribumi dan
semua kelompok lainnnya. Ketika ada seseorang melakukan kejahatan, bukanlah
kelompok darimana orang itu berasal yang harus kita musuhi, melainkan perbuatan
buruk orang tersebut. Umat Muslim di seluruh dunia enggan diidentikan dengan
tindakan barbar segelintir teroris, maka jangan pula kita mengidentikan suatu
kaum berdasarkan tindakan segelintir anggotanya.
Tuh kan jadi malah melantur ke mana-mana. “Khutbah” di
atas kurasa cukup untuk menjadi pengantar kisah “Geger Pacinan di Batavia” yang
akan kuulas berikut. Kisah ini kuangkat kembali karena ada segelintir orang
yang lagi-lagi dengan pikiran sempitnya berusaha mengangkat kisah tersebut
untuk menyerang tokoh atau kelompok tertentu. Entah karena malas membaca atau
memang wawasan sejarahnya yang kurang, mereka menginterpretasikan peristiwa
pembantaian manusia yang menjadi catatan sejarah memalukan di Batavia ini seenake
udel-nya saja. Tanpa berpanjang lebar, berikut adalah kisah Geger Pacinan
sebagaimana disarikan dari buku “Hikayat Jakarta” karya Willard A. Hanna
(Yayasa Obor Indonesia – 1988). Semoga kita bisa mengambil hikmah darinya.
Tidak perlu lagi disebutkan riwayat hubungan dagang
yang terjadi selama ratusan tahun antara kerajaan-kerajaan pribumi dengan
negeri Cina sebelum kedatangan bangsa Eropa. Hubungan dagang antar kerajaan
asia tersebut berjalan dengan harmonis, tidak seperti Eropa yang cenderung
ingin menguasai (dengan segala cara). Untuk menegaskan pengaruhnya sebagai
penguasa utama perdagangan, Belanda perlu melemahkan kerajaan-kerajaan pribumi
serta seluruh pesaingnya. Karena kekuatan yang terbatas, maka Belanda
menerapkan konsep divide et impera yang terbukti efektif. Tindakan
Belanda dalam memenangi persaingan dagang, digambarkan dalam suatu kisah
berikut :
Suatu kali, misalnya, seorang berkebangsaan Cina
menggali terowongan di bawah gudang Inggris untuk meledakannya dan membakarnya,
kemudian merampok barang-barang di dalam gudang itu. Usaha ini, yang juga
melibatkan orang-orang Belanda, akhirnya gagal, bukan karena kurang seriusnya
para pelaku atau berkat kesiagaan korban, melainkan karena sial belaka.
Setelah kedudukannya semakin mantap, Belanda membentuk
pelabuhan Sunda Kelapa yang direbutnya dari Banten menjadi sebuah pusat
perdagangan terpenting di Asia Tenggara. Perkembangan itu menarik kedatangan
ribuan pendatang baru dari Eropa, Cina, dan daerah lain di Nusantara. Pelabuhan
yang kemudian dinamai Batavia itu dengan cepat diisi oleh jenis masyarakat baru
yang disebut Homo Bataviensis alias orang Betawi.
Orang Batavia asli umumnya bukanlah pribumi, melainkan
orang asing berdarah campuran atau berkebudayaan campuran pula.
Belanda selaku penguasa Batavia menerapkan kebijakan
rasialis. Orang Eropa menempati posisi teratas, bangsa asing di bawahnya, dan
pribumi di tingkat terbawah. Dengan itu rusaklah tatanan masyarakat sebelumnya
yang tidak memiliki batasan “kasta”. Salah satu dasar perlakuan diskrimasi
tersebut, seperti diakui Gub. Jenderal J.P. Coen adalah karena :
“Tidak ada tenaga yang lebih cocok untuk tujuan kita
atau yang dapat dikerahkan dengan sama mudahnya, selain orang-orang Cina”
Diterangkannya bahwa berlawanan dengan orang pribumi
yang berwatak malas, tak mudah diatur dan tak dapat dipercaya, Orang Cina,
sebaliknya, rajin, tidak kenal lelah, sangat terampil dan berdisiplin
kuat. Orang-orang Cina tentu saja tidak memiliki banyak pilihan kecuali
mengikuti pengkondisian yang diberlakukan kompeni. Namun yang pasti, untuk
mencapai visinya membangun Batavia sebagai pusat ekonomi terpenting, Coen
mendatangkan ribuan orang Cina untuk diberdayakan.
Mula-mula sekali, kapten-kapten kapal Belanda menculik
petani-petani dan nelayan-nelayan Cina di Pantai Cina untuk dibawa ke Jakarta
untuk dilelang sebagai kuli kontrak, tetapi tindakan ini segera terbukti tidak
perlu dilakukan. Adalah saudagar-saudagar Cina sendiri yang membawa kuli dari
Canton dan Amoy untuk dipekerjakan sebagai budak di Batavia. Setelah beberapa
tahun, budak-budak itu biasanya telah memiliki usaha sendiri, tak sedikit yang
menjadi kaya raya. Karena jumlah wanita dari bangsanya yang masih sangat sedikit,
sering terjadi perkawinan antara pendatang dengan pribumi, menghasilkan
masyarakat berdarah campuran atau indo.
Singkat cerita jumlah penduduk Cina di Batavia
meningkat dengan sangat pesat, membanjiri Batavia hingga ke pinggiran kota.
Pada awal abad-18 penduduk Cina kurang lebih telah mencapai jumlah 80.000
orang, kebanyakan bekerja di perkebunan, pabrik-pabrik atau berdagang. Sebagian
kecil lain melakukan kejahatan-kejahatan kecil atau kadang mengadakan
kekacauan. Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier lantas memutuskan untuk
menangkap secara besar-besaran dan mengekspor kelebihan buruh orang Cina ke
Ceylon (Srilanka). Kebijakan itu ternyata membawa resiko karena dijalankan
secara serampangan dan tak mengenal perikemanusiaan.
Ratusan, barangkali ribuan, orang Cina ditangkap dan
dideportasi. Beredar kabar bahwa yang ditangkap bukan hanya orang jahat
melainkan mereka juga yang baik-baik… Mereka diangkut dengan kapal dari
Batavia, konon kabarnya, mungkin dilempar ke laut jauh sebelum mereka mencapai
Ceylon.
Marah mendengar kabar itu, gerombolan-gerombolan orang
Cina di pinggiran kota melengkapi dirinya dengan senjata-senjata yang dirampas
dari penjaga Belanda, berencana menyerang kota. Pada akhir bulan September
1740, keadaan menjadi genting. Gub. Jenderal Valckenier memanggil Majelis
Hindia Belanda untuk mengadakan rapat darurat. Diputuskanlah anggota majelis
Van Imhoff dan Van Aarden untuk merencanakan dan mengambil tindakan seperlunya.
Pada awal bulan oktober, gerombolan-gerombolan Cina
menyerang dan menguasai kekuatan Belanda di Meester Cornelis dan Tanah Abang,
dan pada suatu ketika membinasakan 50 serdadu Eropa. Mencegah kekacauan lebih
lanjut, Van Imhoff mengerahkan 1.800 orang pasukan yang dipersenjatai untuk
melakukan pembersihan. Pada tanggal 8 Oktober, pasukan Belanda memukul mundur
serangan balasan Cina yang kuat di pinggir kota. Keesokan harinya, kerusuhan
besar terjadi di pemukiman orang-orang Cina : pembakaran gedung-gedung,
kerusuhan, para serdadu menembak ke arah khalayak ramai. Dan terjadilah kepanikan.
…Tiba-tiba secara tidak terduga seketika itu terdengar
jeritan ketakutan bergema di seluruh kota, dan terjadilan pemandangan
kebiadaban yang paling memilukan dan perampokan di segala sudut kota. Semua
orang Cina, tanpa perkecualian, pria, wanita dan anak-anak diserang. Baik kaum
wanita yang sedang hamil maupun bayi yang sedang menyusui tidak luput dari
pembantaian yang tidak mengenal perikemanusiaan. Para tahanan yang dibelenggu,
yang berjumlah ratusan orang itu, disembelih layaknya domba. Beberapa orang
Cina kaya, lari mencari perlindungan pada penduduk bangsa Eropa, yang tidak
menghiraukan segala prinsip kemanusiaan dan moral, menyerahkannya kepada
pemburu-pemburunya yang haus darah, lalu menyelewengkan harta milik yang
dipercayakan kepada mereka. Pendeknya, semua orang Cina, baik bersalah atau
tidak, dibantai.
Menurut laporan kontemporer, 10.000 orang Cina,
termasuk 500 orang tahanan dan pasien rumah sakit telah dibunuh, 500 orang lagi
terluka parah, 700 rumah dirusak, dan sejumlah besar barang berharga hilang
atau rusak. Orang-orang Eropa, baik militer maupun sipil, sama-sama bersalah
melakukan perampokan dan pembunuhan dengan pasukan-pasukan pribumi yang
dianggap lebih haus darah dan perampok itu.
Orang-orang Belanda yang berada di dalam kota Batavia,
di antaranya para anggota Majelis Hindia Belanda, terkejut atas apa yang
terjadi dan menetapkan satu hari masa berkabung yang ditujukan untuk penebusan
dosa dan kebaktian agama. Orang-orang dengan seketika melemparkan kesalahan.
Anggota dewan dan Gubernur Jenderal saling menuduh yang berujung pada
pengunduran diri Valckenier dari posisinya sebagai Gubernur Jenderal. Para Heeren
XVII (Direktur VOC) di Belanda yang telah menyelidiki laporan lantas
memutuskan untuk menahan Valckenier di kastil Batavia.
Proses itu berlangsung selama 10 tahun lamanya.
Valckenier mengajukan dokumen-dokumen pembelaan dirinya yang sedemikian
tebalnya, sehingga tidak ada orang yang sanggup mempelajarinya.
Akhirnya, setelah Valckenier meninggal tanggal 20 Juni
1751, pemeriksaan-pemeriksaan resmi ditangguhkan. Akan tetapi, selama
bertahun-tahun persoalan Valckenier tetap menjadi kasus Batavia yang
termahsyur. Belanda tentu saja tidak ingin kasus itu berkembang ke arah yang
lebih membahayakan. Bagaimanapun, Mereka tetap membutuhkan orang Cina sebagai
penggerak ekonomi di Batavia. Dalam satu periode setelah kejadian, jumlah penduduk
Cina di Batavia melebihi jumlah sebelumnya.
Pembunuhan masal orang-orang Cina di Batavia memicu
pemberontakan orang Cina di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang pada gilirannya
mengakibatkan kekacauan yang meluas di mana-mana termasuk di dalam kerajaan
Mataram.
Banyak orang Tionghoa pelarian dari Batavia berkumpul
dan menghimpun kekuatan melawan belanda. Seluruh pantai Jawa, dari Batavia
sampai Pasuruan memanas. Pusat revolusi berkembang di Semarang. Berkat
kecakapan Tai Wan Sui, pemimpin Tionghoa, maka Bupati-Bupati pesisir
menggabungkan diri dengan laskar Tionghoa. Sunan Mataram, yang merasa terancam
oleh keadaan itu berbalik mendukung VOC untuk memberantas pemberontakan.
Pemberontakan berhasil dipadamkan, namun sebagai gantinya, keraton Mataram juga
ikut runtuh. Politik divide et impera Belanda lagi-lagi berhasil.
Peristiwa persatuan para pemberontak Tionghoa dan
Pribumi dalam melawan Belanda itu beberapa waktu lalu diabadikan dalam
sebuah monumen “kontroversial” yang berlokasi di Taman Budaya Tionghoa Indonesia,
TMII Jakarta. Oleh sebagian orang-orang yang gemar menyesatkan sejarah, monumen
tersebut diidentikan dengan laskar tionghoa Po An Tui yang baru eksis dua ratus
tahun setelah peristiwa pemberontakan laskar Tionghoa dan Jawa guna melawan
Belanda. Aku percaya penyesatan sejarah itu dilakukan bukan tanpa alasan,
kecuali menimbulkan perpecahan. Strategi kompeni kembali diterapkan…
Demikian kisah singkat peristiwa Geger Pacinan yang
menjadi noda buruk dalam sejarah kolonialisme di Indonesia. Suatu peristiwa
yang memalukan bagi Belanda sehingga episode tersebut tidak banyak diekspose
dalam buku-buku sejarah bangsa mereka.
Adalah suatu hal yang aneh akhir-akhir ini, ketika
seseorang terkemuka di negeri ini mengangkat kisah itu untuk menekan kelompok
minoritas yang menjadi “korban” dalam peristiwa tersebut. Ya, hanya korban yang
harus mengambil hikmahnya, bukan para pelakunya yang tercatat dalam sejarah
sebagai pembantai tak berperikemanusiaan. Seakan-akan menjustifikasi tindakan
barbar yang dilakukan Belanda dan antek-anteknya hanya karena kepentingan
politik sesaat saja. Penyebab kejadian tersebut, bagaimanapun adalah kebijakan
kolonialisme Belanda, sedangkan lainnya hanyalah ekses. Bagaimana mungkin
seseorang yang mengaku nasionalis sejati bisa mendukung kebijakan kolonialisme
Belanda ? Silakan cari jawabannya sendiri. Aku hanya bisa berharap agar
masyarakat Indonesia bisa belajar dari sejarah, dan berhenti menggadaikan
persatuan bangsa yang telah dibentuk dari proses ratusan tahun demi kepentingan
politik sesaat. Jadilah orang-orang yang berfikir…
Senin, 10 April 2017
GERAKAN MAHASISWA MENJADI GERAKAN AKADEMIK
P
P PENDAHULUAN
Lembaga
kemahasiswaan adalah salah satu wadah dimana beberapa fungsi mahasiswa bisa
diaplikasikan dalam pengabdian baik dalam internal maupun eksternal kampus.
Sebagai “kawah candra dimukanya mahasiswa, kampus merupakan basis sekaligus
sumber potensi intelektual muda yang nantinya akan menentukan kemana arah
bangsa ini.
Mahasiswa
merupakan aset bangsa yang perlu dibina dan dikembangkan. Sebagai generasi muda,
kelangsungan suatu bangsa untuk masa yang akan datang sangat tergantung kepada
mahasiswa yang ada saat ini. Oleh karena itu, mahasiswa perlu dibekali dengan
berbagai keahlian seperti keahlian dalam bidang Organisasi, Manajemen dan
Kepemipinan (Leadership).
Pemuda
Indonesia khususnya mahasiswa Indonesia harus dibekali dengan kemampuan hard
skill dan soft skill. Melihat kondisi ini, perlu rasanya diangkat suatu
kegiatan yang bisa menjawab permasalahan tersebut. Kegiatan berupa Latihan Dasar
Kepemimpinan Mahasiswa ini merupakan salah satu langkah untuk meningkatkan
kemampuan mahasiswa dalam memanejemen sebuah lembaga dalam menyongsong dan
mempersiapkan perubahan masa depan yang lebih baik.
Mahasiswa
sebagai Agent of Changes merupakan pioner
dan tonggak dari sebuah perubahan. Mahasiswa diharapkan mampu menjadi
penerus bangsa yang merubah wajah dunia nantinya. Mahasiswa adalah kaum
intelektual yang mampu berpikir kritis terhadap segala
permasalahan-permasalahan yang tengah ada. Mahasiswa juga berkaitan erat dengan
organisasi dan keterampilan. Untuk itu
diperlukan suatu kegiatan yang dapat melatih dan membimbing
mahasiswa menjadi pemimpin-pemimpin yang hebat. Salah satunya
melalui Latihan Dasar Kepemimpinan yang merupakan agenda dari Berangkat dari hal tersebut, Mahasiswa mengadakan
Latihan Dasar Kepemimpinan Mahasiswa (LDKM) Mahasiswa tahun 2014 guna
mempersiapkan jebolan intelektualitas muda yang matang akan jiwa
kepemimpinannya dalam mengelolah organisasi maupun lembaga kemahasiswaan serta
mampu mencipitakan perbedaan karakter kepemimpinan yang tidak menoton demi
progresifitas dan perbaikan tatanan sosial untuk mewujudkan nilai-nilai
integritas dalam kehidupan kampus yang demokratis.
- DASAR KEGIATAN
1.
UUD 1945 Tentang Kebebasan Berpendapat dan
Berorganisasi
2.
TRI DARMA PERGURUAN TINGGI
3.
Instruksi Pimpinan
- NAMA KEGIATAN
Nama
kegiatan ini adalah Pelatihan Dasar Kepimimpinan Mahasiswa (LDKM) Tahun 2015.
- TEMA KEGIATAN
“Pengembangan Etika Kepemimpinan Mahasiswa yang
Kreatif dan Dinamis”
- PENYELENGGARA
merupakan wujud
dari komitmen mengembangkan kreativitas dan potensi mahasiswa baik itu
mahasiwa/i program studi Ilmu Pemerintahan maupun Program Studi Hubungan
Internasional.
- PESERTA
Peserta Pelatihan Dasar Kepemimpinan
adalah Mahasiwa/i dengan persyaratan sebagai berikut :
1. Mahasiwa
Semester I (satu), II (dua), III (tiga),
2. Mahasiswa
aktif secara Administrasi maupun Akademik
3. Menyerahkan Karya
Ilmiah jenis Artikel Ilmiah.
4. Melunasi
Iuran yang telah ditetapkan bersama sebesar Rp. 250.000,-
5. Menyerahkan
biodata peserta
- TUJUAN KEGIATAN.
Hasil yang ingin dicapai dalam penyelenggaraan pelatihan dasar kepemimpinan
bagi Mahasiwa/i
1. Meningkatkan
dan memantapkan mutu kepemimpinan.
2. Meningkatkan
kemampuan berorganisasi dan kesadaran politik sebagai warga negara yang baik
dan bertanggung jawab.
3. Meningkatkan
dan mengembangkan serta memperluas wawasan dalam melaksanakan tugas-tugas
kepemimpinan.
4. Memberikan
kesempatan belajar bagi peserta didik.
5. Mendorong,
membimbing serta mengarahkan potensi kepemimpinan.
6. Menumbuhkan,
meningkatkan dan memantapkan kesadaran dan tanggung jawab sebagai warga negara
khususnya generasi muda penerus perjuangan bangsa.
7. Memberikan
tuntunan dan meningkatkan pola pikir, sikap dan perilaku, kepribadian, budi
pekerti, sopan santun dan disiplin.
- BENTUK KEGIATAN
Latihan Dasar Kepemimpinan Mahasiswa (LDKM) Mahasiwa/i
merupakan teori dan praktek yang dilaksanakan dalam bentuk kegiatan diruangan
maupun dilapangan.
- WAKTU DAN TEMPAT PELAKSANAAN
Kegiatan
LDKM ini akan dilaksanakan pada :
Hari
/ Tanggal : Senin-Selasa / 19 -
20 - 2015
Tempat : Villa Puncak Bogor
I.
SUSUNAN ACARA
Hari
Pertama
06.30 – 07.30 Wib
|
Persiapan Keberangkkatan
|
08.00 – 11.00 Wib
|
Berangkat Menuju
b)
Doa
Villa
|
Penanggung Jawab
|
Khaidir Ali Panjaitan
|
11.00 – 12.00 Wib
|
Cek in Villa
|
12.00 – 13.00 Wib
|
ISHOMA
|
13.00 – 13.15 Wib
|
Breafing Acara Oleh Panita
|
13.45 – 15.15 Wib
|
Pemateri Pertama Oleh NURHADI
|
15.15 – 15.30 Wib
|
Istrahat
|
18.00 – 19.00 Wib
|
ISHOMA
|
19.00 – 22.00 Wib
|
a)
Malam Keakraban
b)
Games
c)
Pengenalan Organisasi Kampus Oleh Mahasiswa Semester
VI dan VII
|
22.00. 05.30 Wib
|
Istrahat
|
Hari Kedua
|
|
05.30
– 06.30 Wib
|
Bangun Tidur dan
Sarapan Pagi
|
06.30
– 07.00 Wib
|
Breafing Acara oleh
Panitia
|
10.00
– 10.15 Wib
|
Pengumunan Lomba
Karya Ilmiah dan Penyerahan Hadiah
|
10.15
– 11.00 Wib
|
ISHOMA
|
11.00
– 12.00 Wib
|
Persiapan Kembali
Ke Campus
|
12.00
– 16.00 Wib
|
Perjalanan Pulang
|
16.00
-16.15 Wib
|
Penutupan Kegiatan
|
- RINCIAN ANGGARAN
Anggaran
dana yang dibutuhkan adalah Rp. 13. 205.000,00
Terbilang ”
Tiga Belas Juta Dua Ratus Lima Ribu Rupiah ”
Anggaran
Dana
1. Dana yang
dibutuhkan Rp. 13.205.000,00
2.
Dana yang terkumpul Rp.
12.500.000,00
3. Kekurangan
dana Rp. 705.000,00
*) Kekurangan dana diharapkan
dapat terpenuhi dari kampus
*) Instansi Pemerintahan
*) Para Dermawan yang tidak
terkait
- SUSUNAN PANITIA
Terlampir
- PENUTUP
Demikian
kegiatan ini kami susun sebagai acuan dalam pelaksanaan kegiatan Latihan Dasar
Kepemimpinan Mahasiswa (LDKM) Semoga kegiatan ini dapat menjadi kontribusi positif bagi kita
dan semoga Allah SWT merestui langkah-langkah kita dalam mengabdikan diri untuk
Bangsa dan Negara. Amin
Langganan:
Postingan (Atom)